jpnn.com, HONG KONG - Pada 2003, gadis muda bernama Anna Can Wah berdiri di tengah lautan manusia yang memenuhi jalanan Hong Kong. Dia rela bertahan di bawah terik matahari untuk menyampaikan aspirasinya.
''Kami tahu aksi kami tak akan mengubah apa pun. Tapi, kami tetap harus bertarung,'' ungkapnya kepada South China Morning Post.
BACA JUGA: Tiongkok Desak Perusahaan AS Lawan Kebijakan Trump
Saat itu sekitar setengah juta jiwa penduduk Hong Kong keluar dari rumah mereka untuk memprotes undang-undang anti pemberontakan. Aturan yang dianggap bakal membatasi kebebasan berpendapat mereka.
BACA JUGA: Hong Kong Terus Menolak RUU Baru Tiongkok
BACA JUGA: Hong Kong Terus Menolak RUU Baru Tiongkok
Minggu (9/6) pemandangan serupa terjadi. Penduduk Hong Kong resah. Mereka takut undang-undang ekstradisi tersebut nanti bisa diselewengkan. Bisa saja Tiongkok memaksakan aturan yang cenderung otoriter berdasar bukti-bukti palsu. Sasarannya, tokoh-tokoh prodemokrasi di Hong Kong.
''Saya tak pernah percaya kepada pemimpin kota (Chief Executive Hongkong Carrie Lam). Mengungkit Insiden Tiananmen Square saja dia tak berani,'' ucap Mathhew Ng Kwok-bun.
BACA JUGA: Putin Ramalkan Akan Ada Perang Teknologi karena Ulah Donald Trump
Benar saja. Lam tak menggubris permintaan penduduk dalam demo itu. Dia menegaskan bahwa proses pengesahan aturan tersebut masih berjalan seperti biasa.
Dia hanya menyatakan bahwa aturan itu tak akan mengganggu kebebasan berpolitik atau berpendapat di Hong Kong. Buktinya, aku dia, jutaan penduduk saja masih bisa bebas berdemo. ''Kami sudah mendengar permintaan mereka,'' ungkapnya menurut Agence France-Presse. (bil/c22/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Piala Dunia Wanita 2019: Pukul Tiongkok, Jerman Jaga Rekor Tak Pernah Kalah di Laga Pertama
Redaktur & Reporter : Adil