Perubahan politik di Semenanjung Korea berjalan begitu cepat. Baru-baru beberapa bulan lalu di sana ada diambang perang nuklir.

Sekarang pemimpin kedua negara akan bertemu hari Jumat (27/4/2018) dan ada rasa optimistis mengenai perdamaian.

BACA JUGA: Diplomat China Dituduh Tinggali Mansion Tidak Sah di Pasifik

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengatakan dia akan membekukan uji rudal dan nuklir sementara Presiden Korea Selatan Moon Ja-in memberikan pertanda akan adanya kelonggaran dalam masalah ekonomi.

Namun tampaknya tentangan ke arah perdamaian lebih banyak datang dari warga muda Korea Selatan.

BACA JUGA: Victoria Bakal Jadi Ibukota Ganja Obat di Australia

Mereka ingin keamanan lebih baik, namun tidaklah menghendaki reunifikasi, bersatunya kembali kedua Korea, sementara generasi lebih tua melihat KTT Kedua Korea ini sebagai harapan terakhir untuk penyatuan di semenanjung tersebut.

Yong-cheol Jun sudah memiliki kehidupan yang lebih baik di Korea Selatan, namun harapannya sebelum dia meninggal adalah untuk bisa melihat tanah kelahirannya, Korea Utara.

BACA JUGA: Pembatalan Calon Dubes AS

Semasa perang Korea di tahun 1950-an, dia terpisah dari ibu dan kedua saudara laki-lakinya, dan sejak itu mereka tidak pernah lagi melakukan kontak.

Dia mengatakan ingin kembali ke Korea Utara untuk mengetahui apa yang terjadi dengan mereka.

"Saya merasakan kepedihan yang mendalam. Saya merasa bersalah meninggalkan keluarga saya. Ketika saya bernyanyi saya selalu ingat ibu saya. Itu menunjukkan kepedihan hati saya selama ini." katanya.

"Ketika saya mengucapakan selamat berpisah dengan ibu saya, saya berpikiran saya akan kembali lagi dalam beberapa bulan. Bila saya tahu akan jadinya selama ini, saya tidak akan meninggalkannya."

Sedikitnya 60 ribu keluarga Korea Selatan terpisah karena perang dan mereka sangat mendukung bersatunya kembali Korea Utara dan Korea Selatan.

"Bila ada pertukaran dan interaksi antara warga Korea Utara dan Korea Selatan maka reunifikasi mungkin terjadi. Kemudian akan menyatu, itu pasti terjadi." kata Jun. Photo: Harapan terakhir Yong Cheol Jun sebelum meninggal adalah melihat tanah kelahirannya di Korea Utara. (ABC News: Brant Cumming)

Hyun-sook Kim (91 tahun) adalah salah seorang yang beruntung.

Nenek ini bertemu dengan anak perempuannya pertama kalinya selama tiga hari setelah perpisahan selama 70 tahun di ibukota Korea Utara Pyongyang.

Dia menjadi bagian dari keluarga terakhir yang ikut dalam program reuni keluarga di tahun 2015, namun melihat kembali anak perempuannya tidaklah menghilangkan kepedihannya.

"Saya tidak bisa menggambarkan perasaan saya. Saya perlu melihat dia lagi. Satu-satunya cara untuk mengungkapkan perasaan saya adalah dengan menangis."

"Dia tumbuh tanpa seorang ibu, dan saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya hal itu di sana." katanya.

"Adalah keinginan saya sebelum meninggal untuk bisa bertemu anak perempuan saya lagi. Saya juga ingin mengetahui bagaimana orang tua saya meninggal dan dimana mereka dikuburkann."

Di Korea Selatan, generasi mudanya tidaklah memiliki keinginan seperti generasi yang lebih tua.

Mereka sudah tumbuh dalam situasi yang sangat berbeda. Photo: Kim Hyun Sook (kanan) bertemu putrinya pertama kali setelah berpisah selama 70 tahun. (ABC News: Brant Cumming)

Setelah terpisah selama 65 tahun, Korea Utara dan Korea Selatan tumbuh menjadi negara yang begitu berbeda.

Selatan menjadi negara dengan teknologi tinggi dan warganya hidup dalam suasana penuh persaingan, sementara Utara mandek dan semua direncanakan dari pusat.

Warga muda Korea Selatan melihat perbedaan yang begitu besar itu membuat reunifikasi tidak akan bisa berjalan mulus.

Seorang mahasiswa Tae-wan Kim mengatakan generasi muda tidaklah mau membayar biaya bagi perujukan kembali yang bisa mencapai puluhan miliar dolar.

"Generasi kami berpikir mengapa kami harus membayar miliaran dolar, ini bukan tugas kami. Kami sudah berjuang membuat perekonomian bagus, kami sudah berkorban, mengapa harus membuang semua itu." katanya. Photo: Tae Wan Kim mengatakan tidak mau membayar biaya penyatuan kembali yang bisa mencapai miliaran dolar. (ABC News: Brant Cumming)

"Saya kira mustahli untuk memperkecil jurang perbedaan. Korea Selatan adalah demokrasi, Korea Utara adalah komunis. Ada perbedaan 180 derajat."

Generasi muda mengatakan bahwa membanjirnya warga Korea Utara akan mengancam kesejahteraan Korea Selatan, dan mahasiswi S2 Kyeyu Kwak memperkirakan hakl itu bisa membuat persaingan lebih ketat untuk masuk ke universitas atau mencari pekerjaan.

"Warga Korea Utara pasti lebih susah untuk beradaptasi dengan budaya Korea Selatan, karena teknologi kami sudah berkembang begitu canggihnya, dan bahasa kami juga sudah sangat berbeda." katanya.

Dia mengatakan warga muda lebih perduli dengan bagaimana bisa bersaing di dalam masyarakat Korea Selatan saat ini dibandingkan masalah Korea Utara.

"Generasi muda kami tidak terlalu memperdulikan Korea Utara seperti yang banyak menjadi perhatian media."

"Kami mungkin tidak menghendaki reunifikasi, namun banyak anak-anak muda yang optimistis bahwa dari KTT akan tercipta hubungan baik dalam hal perdamaian." Photo: Kye Yu Kwak mengatakan kedua Korea tidak lagi memiliki budaya yang sama. (ABC News: Brant Cumming)

Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumur Minyak Ilegal Di Aceh Timur Terbakar

Berita Terkait