Pembangunan 'Jurassic Park' di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur telah mendapat penolakan sejumlah warga setempat.

Pulau tersebut merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, di mana warga dan hewan komodo yang dilindungi bisa hidup berdampingan.

BACA JUGA: Polisi Vietnam Bongkar Sindikat Penjual Kondom Daur Ulang, Mengerikan

Akbar Allayubi, pemandu wisata yang tinggal di Pulau Komodo, adalah salah satu yang menolak pembangunan tersebut.

Sebagai penduduk asli, ia mengaku tidak pernah dilibatkan setiap kali pemerintah mengeluarkan kebijakan pariwisata di pulau tersebut.

BACA JUGA: Kasus COVID-19 di Bali Meledak Setelah Pemerintah Lakukan Ini

"Kami hanya tahu dari media online lokal saja," kata Akbar kepada ABC Indonesia. Photo: Pulau Komodo dan taman nasional yang mengelilinginya menjadi kawasan yang menarik pariwisata. (ABC: George Roberts)

 

BACA JUGA: Perempuan Muda Ini Jadi Simbol Perlawanan terhadap Raja Thailand

Menurutnya banyak warga yang pasti akan menolak semua rencana pembangunan karena mengancam Komodo serta ekosistem di kawasan Taman Nasional Komodo.

"Kami mendefinisikan konservasi bukan soal income [pendapatan] atau benefit [keuntungan]," ujarnya.

"Yang kami pahami soal konservasi adalah wasiat leluhur yang mengajarkan bahwa komodo dan ekosistemnya adalah saudara kami."

Rencana pembangunan 'Jurassic Park' pertama kali dicetuskan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Kemaritiman tahun 2019.

Luhut pernah mengatakan jika nantinya 'Jurassic Park' akan memiliki pusat penelitian dan penduduk setempat nantinya akan "lebih sejahtera".

Sebuah video animasi rancangan pembangunan "Wisata Jurassic Indonesia" diunggah di akun Instagram Fania Hafila, salah satu arsitek dengan menggunakan musik latar dari film blockbuster Hollywood 'Jurassic Park'.

Di akhir video, tercantum logo Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai penanggung jawab pembangunan dengan luas 1,3 hektar itu. Photo: Komodo adalah kadal terbesar yang hidup di dunia dan hanya hidup di pulau Komodo, Rinca, Flores, dan Gili Motang di Nusa Tenggara Timur. (Foto: Agus Elang)

  Bertentangan dengan konsep konservasi

Pembangunan berbasis beton bertentangan dengan habitat komodo, yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional, menurut Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp).

Salah satu anggotanya, Venan Haryanto, mengkhawatirkan pembangunan sumur bor sebagai bagian dari sarana dan prasarana akan mematikan sumber-sumber air di kawasan Pulau Rinca, yang selama ini menjadi tempat hidup satwa liar.

Selain komodo, Taman Nasional Komodo seluas 1.817 kilometer persegi juga adalah rumah bagi hewan unik lainnya, seperti tikus Flores dan rusa Timor. Photo: Komodo dari Pulau Rinca, NTT pernah menjadi komoditi yang diperdagangkan ilegal, termasuk ke luar negeri. (Foto: Bryan Fry)

 

Gregorius Afioma dari lembaga swadaya masyarakat 'Sunspirit for Peace and Justice' mengatakan, baik pemerintah pusat maupun daerah sama-sama mengabaikan konsep konservasi alam.

"Taman Nasional Komodo harus dilihat sebagai satu kesatuan ekosistem, bagaimana mungkin di Rinca dirancang bangunan yang semewah-mewahnya, sementara di Pulau Komodo dibuat seolah-olah harus alamiah, padahal kedua pulau itu sama-sama habitat komodo?" ujar Gregorius.

Sementara akademisi dari Jurusan Biologi Universitas Indonesia, Dr Jatna Supriatna mengatakan desain seharusnya dipikirkan secara cermat untuk tidak menganggu habitat komodo.

"Dengan konsep yang sekarang … turis datang langsung ke tempat di mana komodo berada, sehingga mengubah behaviour [perilaku] komodo, itu juga menurut saya kurang bagus," tuturnya. Labuan Bajo jadi 'Bali baru' Photo: Presiden Joko Widodo didampingi Menparekraf Wishnutama Kusubandio saat mengunjungi Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Kemenparekraf)

 

Formapp menilai, pembangunan ala 'Jurassic Park' tidak bisa dipisahkan dari keinginan Pemerintah Pusat yang memasukkan Labuan Bajo ke dalam lima kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) Super Prioritas.

Empat kementerian yang ditugaskan Presiden Joko Widodo, yakni Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pembangunan Umum, dan Kementerian BUMN, menargetkan pembangunan lima kawasan yang bisa menjadi 'Bali yang baru' ini rampung tahun ini meski di tengah pandemi COVID-19.

Menanggapi rencana pemerintah pusat, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat mengusulkan agar Pulau Rinca dikembangkan sebagai tujuan 'mass tourism' atau pariwisata massal, sementara pulau Komodo dan pulau Padar agar dirancang sebagai destinasi eksklusif. Photo: Berat rata-rata Komodo adalah 70 kilogram, namun Komodo yang terbesar yang pernah ditemukan panjangnya 13.13 meters dengan berat 166 kilogram. (Foto: Agus Elang)

 

Alasan lain yang sering dipakai pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Labuan Bajo, menurut Venan dari Formapp, adalah persiapan sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang akan dilangsungkan pada 2023.

"Pembangunan infrastruktur untuk perhelatan KTT G20 sangat kontraproduktif dengan agenda ekologi yang dimandatkan KTT 2017, yakni isu perubahan iklim dan ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan," kata Venan.

"Seandainya negara-negara anggota G-20 tahu KTT 2023 akan berlangsung di Labuan Bajo-Nusa Tenggara Timur, yang berpotensi sangat berdampak buruk bagi ekologi Taman Nasional Komodo, mungkin akan lain ceritanya." Klaim pembangunan sudah sesuai aturan Photo: Proses pembangunan telah dimulai di Pulau Rinca, terlihat kawasan hutan bakau juga menjadi terdampak. (Foto: Istimew)

 

Sementara itu, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo, Shana Fatina mengklaim pembangunan ala 'Jurassic Park' di Pulau Rinca sudah sesuai aturan karena dilakukan di kawasan khusus yang tidak mengganggu ekosistem.

"Pembangunan dilakukan di zona pemanfaatan, termasuk untuk akses alat berat dan lain-lainnya," kata Shana.

Shana menjelaskan, rencana pembangunan Pulau Rinca telah melalui proses panjang karena harus melalui izin lingkungan dan melewati proses analisa dampaknya pada lingkungan.

Ia mengaku jika proses ini telah dikawal oleh UNESCO serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sejauh ini, aliansi masyarakat sipil yang menolak pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo sudah tiga kali melayangkan protes kepada pemerintah, termasuk DPR dan DPRD, namun belum mendapat tanggapan.

Mereka juga sudah melayangkan surat ke UNSECO dan UNEP, sebagai organisasi yang memberikan status 'World Heritage Site' pada tahun 1991 kepada Taman Nasional Komodo.

"UNESCO tidak memiliki yurisdiksi atas situs yang diakui oleh organisasi dan program terkaitnya, ini adalah wilayah kedaulatan anggota negara tempat mereka berada," demikian petikan isi balasan kepada forum masyarakat yang ditandatangani oleh Shahbaz Khan, Direktur dan and Perwakilan UNESCO di Jakarta.

Menanggapi surat balasan UNESCO, Gregorius dari 'Sunspirit for Peace and Justice' mengaku kecewa.

"[Membaca jawaban UNESCO] akhirnya kami sadar bahwa UNESCO hanya memberi gelar untuk branding dengan maksud yang ekonomistik, tetapi tidak punya tanggung jawab etis untuk persoalan lingkungan dan sosial yang timbul," pungkasnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Apa yang Anda Makan Lebih Penting Ketimbang Berapa Berat Badan Anda

Berita Terkait