Warga Shanghai Bersuka Ria dengan Berakhirnya Lockdown Ketat Selama Dua Bulan Terakhir

Rabu, 01 Juni 2022 – 23:52 WIB
Warga Shanghai merayakan diakhirinya lockdown di kota tersebut. (Reutesr: Aly Song)

jpnn.com - Setelah menjalani lockdown selama dua bulan yang diwarnai dengan protes, kemarahan, dan masalah ekonomi, lockdown yang dilakukan di salah satu kota terbesar di Tiongkok Shanghai akhirnya dicabut.

Sebagian besar dari 25 juta warga kota tersebut sekarang bisa menjinggalkan rumah mereka, kembali bekerja, menggunakan transportasi umum dan mengendarai mobil mereka sendiri.

BACA JUGA: Senator AS Datang, Jet Tempur China Memenuhi Langit Taiwan

Hal-hal keseharian yang sudah ditunggu-tunggu oleh warga di kota paling modern di Tiongkok tersebut.

Pas tengah malam sejumlah warga berkumpul di kawasan pemukiman bernama French Concession (perkampungan Prancis), meneriakkan kata-kata 'larangan sudah berakhir' dan minum minuman anggur.

BACA JUGA: Pasien Kanker Memohon Agar Adiknya tidak Dideportasi dari Australia

Sebelumnya jalan-jalan dipenuhi dengan warga yang melakukan piknik di rerumputan, dan anak-anak naik sepeda di jalan-jalan yang masih sepi dengan kendaraan.

Para pensiunan yang hobi berdansa dan sebelumnya menjadi bagian dari kehidupan di banyak kota-kota di Tiongkok kembali bermunculan di lapangan terbuka dan di sepanjang Sungai Huangpu.

BACA JUGA: Angin, Salju, dan Suhu Beku Terjang Pantai Timur dan Tenggara Australia

Para pejabat sebelumnya memang sudah memutuskan bahwa tanggal 1 Juni bagi berakhirnya pembatasan, dan dalam beberapa hari terakhir sudah memberikan kebebasan warga untuk melakukan kegiatan di luar rumah.

"Epidemi sudah berhasil dikuasai," kata Wakil Wali kota Sanghai Zong Ming.

Lu Kexin seorang pelajar SMA yang mengunjungi kawasan pinggir sungai Huangpu pertama kalinya sejak akhir Maret mengatakan dia sangat kesepian terjebak di rumahnya sendiri begitu lamanya selama dua bulan terakhir.

"Saya senang sekali bisa keluar rumah, senang sekali. Rasanya saya seperti mau mati saking senangnya," katanya.

Shanghai Disneyland yang belum lagi mengumumkan kapan akan dibuka kembali menayangkan secara online berbagai instalasi cahaya guna 'merayakan diakhirnya lockdown di Shanghai."

Di bawah temaram lampu malam, tukang cukur banyak kedatangan warga yang selama dua bulan tidak bisa keluar untuk merapikan rambut mereka.

Di platform media sosial WeChat, banyak bisnis mulai mengumumkan kapan mereka akan dibuka.

"Saya membawa anjing saya jalan-jalan dan anjing saya sangat senang karena sudah begitu lamanya tidak bisa keluar," kata Melody Dong yang mengatakan sudah tidak sabar untuk bisa menikmati makanan seperti hot pot dan BBW, hal yang sulit dilakukan di rumah.

Apa yang dilakukan di Shanghai adalah simbol bagaimana kebijakan ketat berkenaan dengan COVID yang dilakukan Tiongkok, yang berusaha keras memberantas kasus sampai ke titik nol, padahal di bagian dunia lainnya kehidupan sudah hampir kembali normal meski kasus masih ada.

Menurut Cao Yue yang sudah bekerja di Shanghai selama lima tahun masa yang paling sulit berkenaan dengan lockdown adalah kesehatan mental.

Dia mengatakan di masa-masa awal sulit sekali baginya untuk membeli makanan dan dia tidak tahu harus melakukan apa.

"Rasanya sangat menyedihkan harus terkunci di rumah dan melihat seluruh Shanghai menjalani lockdown," katanya.

 

Lebih dari 500 ribu warga dari 25 juta penduduk kota tersebut belum boleh melakukan kegiatan hari Rabu ini, 190 ribu orang masih menjalani karantina dan sekitar 450 ribu orang lainnya berada di zona pengawasan karena mereka di dekat kasus yang baru terjadi.

Lockdown di Shanghai dan di berbagai kota lain di Tiongkok telah memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan juga  mengganggu pasokan barang-barang ke seluruh dunia meski angka kasus mulai menurun dan pembatasan sudah banyak dicabut sejak masa paling buruk di bulan April.

Tiongkok mengatakan pendekatan yang mereka lakukan dimaksudkan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah agar sistem layanan kesehatan tidak ambruk dengan tingginya kasus.

Ketidakmenentuan dan juga ketidakpuasan warga atas kebijakan COVID yang terlalu ketat terjadi di tahun politik di mana Presiden Xi Jinping sedang berusaha melanjutkan kepemimpinannya untuk periode yang ketiga.

"Rasanya malam ini seperti masa liburan akhir sekolah," tulis seseorang di media sosial Tiongkok Weibo.

"Di malam menjelang tahu ajaran baru, saya senang dengan dimulainya semester baru namun juga ada perasaan takut."

 

Shanghai mencatat 29 kasus baru hari Senin, turun tajam dari angka 20 ribu per hari pada bulan April.

Di ibu kota Tiongkok Beijing pembatasan juga mulai dilonggarkan di beberapa distrik pada hari Selasa.

Menurut laporan  media lokal, tiga lab testing di Beijing sedang diselidiki oleh polisi karena 'protokol testing yang tidak benar' sehingga menghasilkan hasil tes yang tidak akurat.

Sebuah kota yang terluka

Selama dua bulan Shanghai harus menjalani lockdown ketat membuat warga di kota ekonomi terpenting di dunia tersebut kesulitan mendapatkan bahan makanan dan obat-obatan.

Keluarga terpisahkan dan ratusan ribu orang dipaksa menjalani karantina terpusat.

Di beberapa pabrik dan kantor yang tetap buka - termasuk kantor para pejabat pemerintah Shanghai - banyak pekerja tidak bisa kembali ke rumah mereka dan hidup dengan fasilitas seadanya selama lockdown tersebut.

Sekarang pembatasan sudah dilonggarkan bagi 22,5 juta penduduk di sana.

Warga masih harus mengenakan masker di tempat umum dan dilarang berkumpul.

Restoran masih tidak melayani  makan di tempat, dengan toko beroperasi dengan kapasitas 75 persen dan tempat fitness belum lagi dibuka.

Warga harus menjalani tes setiap 72 jam bila hendak menggunakan transportasi umum atau mendatangi tempat umum, hal yang tampaknya akan menjadi  kehidupan 'normal baru' di berbagai kota di Tiongkok.

Mereka yang positif dan kontak dekat masih harus menjalani karantina ketat.

Selama masa lockdown, warga Shanghai beberapa kali melakukan protes, dengan menabuh panci dan peralatan makanan dari jendela apartemen mereka dan juga menyampaikan berbagai kritikan di media sosial.

Kemarahan muncul selain karena kebijakan lockdown yang dianggap terlalu ketat juga karena penerapannya yang tidak seragam dan juga komunikasi yang tidak jelas.

"Pemerintah Shanghai harus menyampaikan pernyataan maaf guna mendapatkan pengertian dan dukungan dari warga Shanghai, dan memperbaiki hubungan yang rusak antara pemerintah dan warga," kata Qu Weiguo,  professor di  Fudan University yang menulis di WeChat.

 

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyamar Jadi Nenek, Seorang Pria Berusaha Rusak Lukisan Mona Lisa, Apa Motifnya?


Redaktur : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Lockdown   Shanghai   China   ABC online  

Terpopuler