Penampilan Wayang Orang Indonesia Pusaka di Paris nanti bakal ditonton perwakilan 190 negara anggota PBB. Dikonsep secara modern, bahasa Prancis akan diselipkan dalam pertunjukan yang tetap menggunakan bahasa Jawa tersebut.
= = = = = = = = =
BAGI Gendis Wicaksono, menari bukanlah pekerjaan yang gampang. Tapi, dalam kaitan dengan persiapan tampil di Paris, Prancis, pada 22 Oktober nanti bersama Wayang Orang Indonesia Pusaka (WOIP), ada kesulitan lebih besar yang dihadapi cucu mantan Presiden Soeharto itu: berbahasa Jawa kromo inggil.
"Sebenarnya, saya memang suka nari. Namun, baru belajar intensif dua tahun terakhir. Tapi, menurut saya, kromo inggil itu lebih susah jika dibandingkan dengan nari. Saya sampai berlatih keras menghafal naskahnya. Karena susah ya," ungkap putri Bambang Trihatmodjo dan Halimah yang akan berperan sebagai istri Kresna itu.
Ya, kendati lokasi pertunjukannya di Paris dalam sebuah acara yang dihelat UNESCO (badan PBB yang mengurusi pendidikan, sains, dan kebudayaan) serta bakal disaksikan perwakilan 190 negara anggota PBB, WOIP akan tetap tampil dengan menggunakan bahasa Jawa.
"Kalau wayang orang nggak pakai bahasa Jawa, ya sukmanya hilang," kata Ketua Pelaksana WOIP Paris KRay Aylawati Sarwono saat ditemui di Jaya Suprana School of Performing Arts, Kelapa Gading, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Tapi, tentu ada beberapa penyesuaian untuk pertunjukan yang akan menampilkan lakon Banjaran (Perjalanan Hidup) Gatotkaca tersebut. Antara lain, diselipkannya beberapa kutipan bahasa Prancis ke dalam sejumlah adegan. Misalnya adegan ketika Gatotkaca harus berpisah dengan calon istrinya, Dewi Pergiwa, yang bakal diwarnai ucapan je t'aime alias aku cinta padamu.
Narasi juga berbahasa Prancis. Sedangkan buku acara dibuat dalam bahasa Prancis dan Inggris. "Jadi, sebelum menonton, para penonton sudah paham jalan ceritanya. Punakawan nanti juga menyapa penonton dalam bahasa Prancis, termasuk guyonan-guyonannya," kata Ayla yang juga direktur Jaya Suprana School of Performing Arts itu.
Penyesuaian-penyesuaian tersebut otomatis juga membuat para pemain harus bersiap lebih ekstra. Mereka diharuskan menari, menyanyi, sekaligus bermain drama. Padahal, tak semua yang berangkat ke Paris adalah seniman wayang orang profesional.
Sebagai sebuah komunitas terbuka para pencinta wayang, WOIP yang dipimpin Jaya Suprana sebagai ketua umum itu memang merangkul berbagai kalangan. Selain para penari profesional dari Paguyuban Wayang Orang Bharata, ada pengusaha, pejabat, sosialita, hingga wartawan.
Dari Paguyuban Wayang Orang Bharata ada beberapa pemain dengan jam terbang tinggi semacam Soerip Handayani, Dewi Sulastri, Teguh "Kenthus" Ampiranto, Nanang Ruswandi, dan Ali Marsudi. Sementara itu, dari kalangan "non pemain wayang" terdapat nama-nama seperti Kuntari Sapta Nirwandar, Aylawati Sarwono, Giok Hartono, Bai Papulo, Kelly Humardani, Yani Arifin, Enny Soekamto, Tuti Roosdiono, Yessy Sutiyoso, Gendis Wicaksono, dan Ninok Leksono.
"Yang lama memang melatih pemain yang bukan profesional. Kan menari Jawa itu nggak mudah. Ini modelnya mirip opera. Ada tari, nyanyi, dan dramanya. Jadi, ibu-ibu ini (pemain nonprofesi, Red) harus dilatih keras. Tapi, mereka berlatih sungguh-sungguh, pokoknya nggak kalah oleh penari profesional," tegas Ayla yang bakal berperan sebagai istri Gatotkaca, Dewi Pergiwa, itu.
Tapi, bagi Gendis, berbagai kendala tersebut sama sekali tak menjadi masalah. "Pertama, saya memang pengin ikut wayang karena saya memang cinta budaya Indonesia. Dan saya ingin setiap orang juga bisa seperti saya. Jadi, kenapa tidak mulai dari diri saya sendiri. Selain itu, saya ingin ajarkan ke anak saya budaya Indonesia," jelasnya.
Gendis telah ikut tampil bersama WOIP sejak pentas di Istana Negara Agustus tahun lalu. Ketika itu lakon yang ditampilkan juga sama, Banjaran Gatotkaca.
Lakon itu pula yang dimainkan WOIP di Opera House, Sydney, pada 2010. Sambutan yang mereka dapat kala itu luar biasa. Sekitar dua ribu penonton yang menyaksikan memberikan standing applause pada akhir pertunjukan.
Kini ambisi meraih kesuksesan serupa juga diusung untuk pertunjukan di gedung UNESCO, Paris. Untuk itu, persiapan digeber sejak dua setengah bulan silam. Dalam kurun waktu tersebut, semua yang terlibat pertunjukan harus berlatih 20 kali.
Sutradara dan Direktur Artistik Ida Soeseno menjelaskan, jumlah pemain memang didesain seminimal mungkin, hanya sekitar 50 orang, termasuk penabuh gamelan. Karena itu, satu pemain bisa memerankan dua hingga tiga peran.
Selain pembatasan jumlah pemain, WOIP mengatur waktu pertunjukan agar durasinya tidak terlalu lama. Hanya sekitar 90 menit. "Karena wayang terlalu sulit dimengerti, jadi kami usahakan eksekusi drama per adegan dibuat supaya mudah dipahami oleh penonton asing. Waktunya juga harus diatur supaya penonton nanti tidak sampai berjam-jam menyaksikan pertunjukan," jelas Ida.
Meski hanya 90 menit, pementasan tersebut akan menampilkan keindahan perpaduan seni musik, seni rupa, akrobat, seni tari, dan aspek-aspek teatrikal lain. "Kami pakai multimedia sehingga performance ini bisa diterima di zaman sekarang. Para pemain nanti akan tampil dengan atraktif dan komunikatif," jelas Ayla yang juga istri Jaya Suprana itu.
Ayla menuturkan, awalnya cukup sulit meyakinkan pemerintah untuk terlibat dalam promosi pementasan itu sebagai bagian dari diplomasi budaya. Namun, sejak kesuksesan pementasan di Sydney, mulai banyak yang memberikan dukungan. "Setelah sukses, baru didukung sepenuhnya," ujar Ayla.
Dia menambahkan, pementasan kali ini didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Luar Negeri, perwakilan Indonesia di UNESCO, hingga sejumlah pihak swasta lain. (*/c11/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Siswa SD Papua Ciptakan Perangkat Simulator Kemudikan Mobil
Redaktur : Tim Redaksi