Who Are We?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 04 Juni 2022 – 23:35 WIB
Siapakah Kita? Ilustrasi/Foto: Ricardo/JPNN.com.

jpnn.com - Siapakah kita? Apa jati diri kita, apa identitas nasional kita?

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Samuel Huntington (2004) yang galau memikirkan memudarnya identitas nasional bangsa Amerika Serikat.

BACA JUGA: Amerika Mencekam, Biden: Demi Tuhan! Berapa Banyak Lagi Pembantaian?

Dalam bukunya ‘’Who Are We: The Challenges to America’s National Identitiy’’, Huntington mengatakan bahwa identitas nasional Amerika berada dalam bahaya.

Setelah lebih dari dua ratus tahun menjadi bangsa merdeka, identitas itu menjadi perdebatan yang kembali mengemuka.

BACA JUGA: Amerika Serikat Makin Mencekam, Bagaimana Kondisi WNI di Negeri Paman Sam?

Sejarah bangsa Amerika relatif muda dibanding bangsa-bangsa lain di dunia.

Negara ini adalah sebuah koloni yang ditemukan oleh Columbus pada 1492.

BACA JUGA: Jenderal Andika Mempersilakan Singapura Mengikuti Garuda Shield

Kemudian bangsa Inggris mulai memasuki wilayah itu pada awal abad ke-17.

Melalui suka duka dan pertempuran yang hebat, bangsa Amerika melepaskan diri dari kolinialisme Inggris pada 1776.

Sejak itu mereka berusaha membentuk jatidiri sendiri terlepas dari masa lalu dan memutus rantai sejarah dengan Inggris.

Huntington mengakui bahwa tidak mudah membangun identitas nasional itu, karena pada dasarnya identitas dasar bangsa Amerika tidak berbeda dengan bangsa Inggris yang dianggap sebagai penjajah.

Identitas itu adalah WASP (white anglo saxon protestant), bangsa Amerika adalah kulit putih keturunan Inggris dan beragama protestan.

Mau tidak mau identitas itu tetap melekat sampai sekarang, dan bangsa Amerika sangat bangga dengan identitas itu.

Inilah paradoks pada identitas nasional Amerika.

Pada satu sisi mereka ingin menjadi bangsa yang merdeka dengan identitas yang betul-betul lepas dari Inggris sebagai penjajah.

Akan tetapi, di sisi lain mereka tetap bangga dengan identitas WASP-nya.

Pengalaman penjajahan membuat mereka berusaha menemukan identitas baru dengan menjadikan pluralisme, kebhinekaan, sebagai dasar filosofi berbangsa.

Motto Amerika ‘’Pluribus e Unum’’ mirip dengan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi jargon bangsa Indonesia; bermacam-macam tetapi satu jua.

Amerika ingin menjadi sebuah negara baru yang menerima kemajemukan sebagai bagian dari identitas nasional.

Peristiwa pembunuhan 21 guru dan siswa SD di Texas menunjukkan bahwa kelompok Hispanik sebagai pendatang mempunyai problem sosial yang laten, yang tidak mudah dipecahkan, dan kemudian pecah menjadi kekerasan yang memakan korban.

Orang-orang kulit putih yang merasa sebagai ‘’penduduk asli’’ kemungkinan mencibir kekerasan di Texas itu dan menyalahkan kebijakan imigrasi Amerika yang terlalu terbuka.

Keyakinan akan kebhinekaan itu goyah. Huntington mewakili kelompok konservatif yang risau terhadap lunturnya identitas bangsa Amerika akibat kebijakan imigrasi pintu terbuka yang diterapkan selama ini.

Gelombang imigrasi ke Amerika sejak awal dianggap sebagai sumber kebhinekaan untuk memperkaya budaya Amerika dan menyerap sumber daya manusia dari berbagai wilayah dunia.

Dari berbagai penjuru dunia manusia datang untuk mengejar ‘’The American Dream’’, Mimpi Amerika, yang mana setiap orang bisa menjadi apa saja dan boleh menjadi apa saja.

Di tanah impian Anda bisa menjadi apa pun yang Anda impikan. Itulah tanah impian Amerika.

Para pemimpi yang gagal akhirnya menjadi penghuni penjara dan menjadi pembunuh seperti Salvador Ramos, pelaku pembunuhan di Texas.

Dalam beberapa tahun terakhir ini gelombang serbuan imigrasi terasa terlalu banyak, terutama yang datang dari negara-negara Hispanik yang berbahasa dan berbudaya Spanyol dan Portugis.

Serbuan imigran dari Meksiko langsung menyerbu daerah-daerah perbatasan Amerika sehingga kemudian perbatasan itu ditutup dengan kawat berduri dan dipatroli dengan ketat.

Donald Trump terpilih sebagai presiden pada 2015 karena menyuarakan ketakutan warga kulit putih atas serbuan imigran ini.

Menurut Huntington, serbuan imigran hispanik mengancam identitas nasional Amerika karena mereka tinggal di koloni tersendiri yang terpisah dari masyarakat umum.

Mereka membentuk enclave tersendiri dan tetap mempertahankan budaya dan bahasa mereka sendiri.

Saat ini, kata Huntington, Anda bisa hidup di Amerika, melakukan bisnis, mendirikan pabrik, membuat transaksi di bank tanpa harus bisa berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Inggris.

Itu semua terjadi karena semua tanda, petunjuk, sinyal di Amerika sekarang sudah mempergunakan bahasa ganda, bilingual, Inggris dan Hispanik.

Huntington dan kalangan konservatif panik oleh kenyataan ini.

Jika hal ini tidak dicegah maka identitas WASP Amerika akan hilang.

Orang asing boleh saja masuk ke Amerika, tetapi mereka harus membaur menjadi satu, melepas identitas budaya dan bahasa lama dan memeluk budaya dan bahasa baru di tanah Amerika.

Asimilasi ala ‘’melting pot’’ ini yang dikehendaki Huntington supaya budaya Amerika makin kaya dengan hadirnya ingredients baru.

Sebaliknya, Huntington tidak setuju dengan konsep ‘’salad bowl’’, semacam gado-gado, yang mana budaya-budaya baru tetap hidup sendiri bersandingan dengan budaya Amerika, sebagaimana salad yang menjadi satu tanpa kehilangan identitas dasarnya.

Di Indonesia, perdebatan mengenai identitas nasional menjadi wacana yang banyak diperbincangkan sejak awal perjuangan kemerdekaan.

Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku yang tersebar di belasan ribu pulau.

Sumpah Pemuda, 1928, berhasil menyatukan suku-suku itu ke dalam sebuah identitas yang satu yaitu identitas Indonesia.

Bangsa Indonesia telah berikrar berbangsa satu, berbahasa satu, bertanah air satu, Indonesia.

Ikrar ini merupakan gagasan cemerlang untuk mempersatukan suku-suku yang bermacam-macam itu ke dalam sebuah ikatan kebangsaan yang sama.

Bangsa adalah sebuah ide yang abstrak yang tidak mudah diejawentah dalam sebuah konsep yang konkret.

Bangsa adalah entitas bayangan ‘’Imagined Community’’ seperti yang disebut oleh mendiang Ben Anderson (1983).

Bangsa Indonesia dari Papua sampai Aceh hanya bisa disatukan oleh bayangan dan cita-cita yang sama sebagai sebuah bangsa.

Tanpa bayangan dan cita-cita itu tidak akan ada sebuah bangsa.

Identitas adalah sebuah proses penemuan, di dalamnya terjadi benturan dan perdebatan.

Identitas tidak pernah tunggal dan final. Ia berevolusi dan berkembang dan terus-menerus berubah.

Akan ada tessi-antitesis, dan sintesis baru dalam identitas sebuah bangsa.

Malaysia dan Singapura, tetangga terdekat Indonesia, mempunyai identitas budaya yang tidak berbeda jauh dengan Indonesia.

Pemimpin Malaysia, Mahathir Mohamad dalam ‘’The Malay Dilemma’’ (1971) mengkritik bangsa Melayu (disebutnya sebagai bumiputera) sebagai bangsa yang malas karena sudah terbiasa dimanja oleh alam.

Bangsa Melayu, kata Mahathir, juga adalah bangsa yang lemah, suka berkompromi, tidak berani mempertahankan pendiriannya, karena itu mudah sekali jatuh ke dalam penjajahan bangsa asing.

Pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew (1923-2015), juga mempunyai pandangan yang sama terhadap bangsanya.

Bangsa Singapura yang mayoritas China oleh Lee dikritik karena malas, jorok, suka judi, dan tidak bertanggung jawab.

Dalam biografinya ‘’The Singapore Story; Memoirs of Lee Kua Yew’’ (1998) Lee menceritakan bagaimana pada 1960-an Singapura yang masih menjadi bagian dari Malaysia adalah daerah yang kumuh, kotor, dan terbelakang.

Pendidikan masyarakatnya rendah dan etos kerjanya sulit diajak bekerja keras.

Bangsa Indonesia, Malaysia, Singapura adalah bangsa yang bertetangga dan mempunyai rumpun yang sama, ciri-ciri negatifnya hampir sama saja.

Kritik Mochtrar Lubis mengenai ‘’Manusia Indonesia’’ (1977) tidak banyak bedanya dengan pandangan Mahathir mengenai manusia Malaysia, maupun apa yang disampaikan oleh Lee mengenai manusia Singapura.

Malaysia dan Singapura memperkenalkan kebijakan ekonomi, sosial, dan politik berdasarkan identifikasi kelemahan karakter yang dilakukan oleh Lee dan Mahathir.

Setelah mengidentifikasi kelemahan bangsa Melayu, Mahathir memperkenalkan kebijakan pro-bumiputera yang memberi perlindungan ekonomi, politik, budaya, dan agama.

Kebijakan ini dianggap diskriminatif, tetapi Maharthir bergeming. Dia memberikan privilege kepada bumiputera dalam bentuk kemudahan sarana pendidikan dan kredit murah dari bank.

Bangsa Melayu kemudian bisa memperkuat identitasnya dan memajukan dirinya melalui pendidikan.

Sekarang ini bangsa Melayu bisa berdiri sejajar vis a vis ras China dan India yang menjadi ras dominan di Malaysia.

Bangsa Malaysia juga percaya diri dalam persaingan dan percaturan ekonomi, sosial, dan politik internasional.

Bangsa Singapura yang mayoritas China dengan jumlah sekitar empat juta jiwa telah menjadi bukti keajaiban dunia.

Dari sebuah bangsa yang terbelakang pada 1970-an sekarang menjadi bangsa paling maju dan paling makmur di dunia.

Lee Kuan Yew telah mendesain pembangunan karakter bangsa dengan tangan besi untuk memperkuat jati diri bangsa yang menjadi modal utama dalam persaingan ekonomi internasional.

Indonesia punya mimpi besar untuk mencapai pendapatan perkapita USD 10 ribu pada 2029.

Saat ini Indonesia masih berkutat di angka USD 4.200 masih jauh ketinggalan dibanding Singapura yang hampir mencapai USD 60 ribu dan Malaysia yang sekarang sudah mencapai USD 10 ribu.

Menemukan identitas yang jelas di tengah kebhinekaan menjadi prasyarat penting untuk mengejar mimpi itu. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler