Wisuda Akhir Tahun, Skripsi soal Retribusi PAD Bekasi

Minggu, 03 Maret 2013 – 06:09 WIB
HIDUP memulung barang bekas lalu dijual untuk biaya hidup tidak membuat Wahyudin rendah diri. Dia bahkan tidak segani-segan mengaku hidupnya memang dari memulung. Tidak terkecuali, biaya sekolah dan kuliahnya saat ini.
-----------
Laporan Adi Warsono-Jatisampurna
----------
Barang bekas masih menumpuk di depan rumah. Ada kardus, plastik, dan besi. Barang bekas yang sudah dikumpulkan beberapa hari itu sudah siap dijual kepada para pengepul barang bekas.

Ya, rumah sederhana yang berada di Kampung Kalimanggis, Gang Lame, No 16 RT01/04, Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi ini merupakan rumah Wahyudin. Seorang pemulung yang kini tinggal menatap wisuda S1 di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta.
 
Wahyudin merupakan sosok yang dapat menginspirasi bagi keluarga tidak mampu lain. Meski dengan berbagai keterbatasan biaya, karena motivasi belajar yang sangat tinggi, membawanya giat dan tekun bekerja. Meskipun hanya menjadi seorang pemulung yang memungut sampah dari rumah-ke rumah warga di sekitar tempat tinggalnya.
 
Ketika Radar Bekasi (Grup JPNN) menyambangi kediamannya, Wahyudin menceritakan perjuangannya untuk bisa menempuh ilmu sampai jenjang perguruan tinggi.

"Profesi (memulung) ini sudah 10 tahun aku jalani dikarenakan tuntutan ekonomi dan kehidupan keluargaku,” urai anak sulung dari tiga bersaudara ini.
 
Ya, Wahyudin memaklumi, karena ayahnya hanya seorang tukang ojek dan kuli serabutan. Ditambah lagi, ayahnya adalah penganut poligami.

Wahyu dilahirkan dari istri kedua ayahnya bernama Fatmawati (40), sehingga penghasilan ayahnya pun harus dibagi-bagi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
 
Kehidupan yang sangat sederhana hampir semua saudara yang berjumlah 8 orang, nyaris tidak bisa merasakan kursi sekolah, seperti anak-anak lain pada umumnya. Kehidupan inilah kemudian dijadikan cermin baginya. “Semua saudaraku hampir putus sekolah,” ungkapnya.
 
Melihat cermin kehidupan keluarganya itu, tidak lekas menjadinya pasrah dengan keadaan. Sebaliknya cermin itu dijadikan cambuk untuk membuka pikiran dan wawasannya. Dia pun berpikir bagaimana caranya agar tidak mengalami hal seperti saudaranya yang telah putus sekolah.

Dengan tekad untuk belajar tinggi, segala upaya coba dilakukan meski ketika itu usianya masih 10 tahun atau kelas 4 sekolah dasar.
 
Adalah Bi Ani (60), seorang pemulung yang juga tetanganya ikut menuntun jalannya menggapai cita-cita. Wanita tua itulah yang mau mengajak dan mengajari memungut sampah dari rumah ke rumah demi mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya sekolah.

Berprofesi sebagai pemulung tidak membuat dia langsung menikmatinya. Cibiran, sindiran, dan hinaan sudah tak terhitung. Bahkan, nyaris menjadi cobaan baginya. Meski demikian, keadaan itu tidak membuatnya jera. Dia berkeyakinan pekerjaan yang dia tekuni halal dan tidak merugikan orang lain.

“Selama yang saya jalani halal dan tidak merugikan orang lain, saya kerjakan,” katanya.
 
Sejak ikut memungut sampah, Wahyu mulai berangkat memulung sekitar pukul 01.00 hingga pagi. Usai memungut sampah di pagi hari, Wahyu bersiap berangkat sekolah. Kemudian memulung itu dilanjut lagi dari jam 22.00 hingga pukul 02.00 dini hari.

Rupiah demi rupiah ia kumpulkan hingga akhirnya menghasilkan uang. "Uang hasil mulung pertama saya belikan anak ayam untuk diternakkan,” jelasnya.
 
Dua tahun memungut sampah, dan beternak sebagian uang tabungannya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya masuk sekolah menengah pertama (SMP) Negeri 28 Bekasi.  Meski sudah SMP aktifitas memulung pun terus dilanjutkan.
 
Karena kebutuhan di SMP makin meningkat, Wahyu pun juga akhirnya menjual gorengan. Gorengan dia jajakan di Jalan Alternatif Cibubur yang merupakan jalur RI 1 ke Cikeas, Bogor.

Meski harus bekerja keras dengan menahan rasa malu karena profesinya itu, Wahyu terus berjuang hingga akhirnya jenjang SMA pun akhirnya diraih. Wahyu memutuskan untuk daftar di SMA 7 Bekasi.
 
Dia makin giat menjadi pemulung saat masa libur sekolah karena kekhawatiran tidak bisa melanjutkan kuliah. Dari hasil memulung ini, Wahyu mendapatkan penghasilan Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per hari untuk biaya sehari-hari hingga bisa menyisakan Rp300 ribu-Rp500 ribu per bulan.
 
Berkat kegigigihannya itu, Wahyu pun bisa melanjutkan belajarnya ke Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Beruntung, dia mendapatkan beasiswa dari kampus dan Disdik DKI sehingga meringankan biaya kuliahnya.
 
Selain mendapatkan bea siswa, Wahyu juga mendapatkan bantuan dari beberapa dermawan di sekitarnya. Kala itu, orang tersebut sangat terharu ketika melihat Wahyu adalah seorang mahasiswa yang berprofesi sebagai pemulung.

“Setiap hari saya buka tong sampah rumahnya, dia kaget kalau saya kuliah, kadang kalau kurang biaya ditambahin,” tambahnya.
 
Saat ini, Wahyu sudah sidang skripsi yang berjudul "Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bekasi".

Rencananya ia akan diwisuda pada bulan Desember 2013. Saat ini juga, dia sudah menjajaki untuk masuk ke S2, dirinya yakin bisa. “Pengennya sih nyoba Negeri dulu, siapa tahu keterima, sudah saya jajaki sekarang,” tambahnya.
 
Selain kegiatan memulung dan kuliah, Wahyu juga aktif di kegiatan sosial, bahkan dia mendirikan Yayasan Sosial Remaja. Di Yayasan itu, dia menjadi Public Relation untuk membantu warga yang sakit, kekurangan biaya, dan juga sekolah tambahan gratis bagi para pelajar di kampungnya.

Bahkan, Wahyu mengaku bakal terus memulung hingga selesai S2. “Sekarang lagi berhenti, karena lagi libur,” tandasnya.  (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Punya Museum Batik Terlengkap di Eropa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler