jpnn.com - JAKARTA – Keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait kasus dugaan pencabulan anak di Jakarta International School (JIS) menuai kontroversi. Hal tersebut dikarenakan proses putusan dan penangkapan yang dinilai janggal. Pihak simpatisan dari Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong hingga pemerintah Kanada pun menyampaikan kekecewaannya.
Menteri Luar Negeri Kanada Stéphane Dion mengaku sangat kecewa mendengar putusan MA yang justru memutarbalikkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Putusan tersebut dikeluarkan MA merasa bukti dalam proses PT Jakarta tidak cukup untuk menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. MA pun menilai putusan dari PN Jakarta Selatan sudah sesuai.
BACA JUGA: Honorer K2: Pak Jokowi, Kami Masih Sabar dan Menahan Diri
’’Keputusan ini tidak adil. Mengingat banyak penyimpangan yang parah sepanjang proses kasus ini dan fakta bahwa semua bukti yang diajukan untuk pembelaan ditolak secara sistematis. Bantleman dan Tjiong tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah,’’ ujarnya dalam keterangan resmi kemarin (26/2).
Dia menegaskan, Pemerintah Kanada telah berulang kali menyerukan bahwa kasus ini tidak ditangani dengan adil dan transparan. Namun, rupanya masih seruan tersebut sepertinya tidak ditanggapi dengan serius.
BACA JUGA: Polri Tak Merasa Butuh Tes Kejiwaan Berkala
Menurutnya, hasil dari kasus ini memiliki implikasi serius terhadap reputasi Indonesia sebagai tempat yang aman bagi warga Kanada untuk bekerja, berinvestasi, atau sekedar berwisata. ’’Kanada akan terus mengangkat kasus Bantleman ini sampai ke tingkat tertinggi. Pejabat-pejabat Kanada akan terus memberikan bantuan konsuler kepada Bantleman. Tergantung situasi, hal ini bisa berdampak pada sejarah kerjasama yang panjang dengan Indonesia,’’ ungkapnya.
Sementara itu, kuasa hukum Ferdinand Tjiong dan Neil Bantleman, Patra M Zen, menegaskan, pihaknya bakal mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut karena pihaknya menemukan banyak keanehan dari keputusan yang dikeluarkan 24 Februari tersebut.
BACA JUGA: Status Bromo Turun, Wisatawan Tetap Jaga Jarak
’’Kami sekarang sedang menunggu salinan keputusan kasasi yang dikirimkan ke PN Jakarta Selatan. Tentu hal tersebut harus kami pelajari selengkapnya untuk mengajukan PK,’’ jelasnya.
Dia menyoroti, bagaimana dalam keputusan tersebut tidak tercantumkan tanggal distribusi berkas perkara. Padahal, dari informasi tersebut bisa diketahui berapa lama para Hakim memeriksa berkas. Namun, keterangan tanggal yang ada hanyalah tanggal pengumpulan berkas per 29 Oktober 2015. ’’Kalau begini, bisa saja mereka hanya membahas berkasnya hanya selama satu hari. Karena tidak dicantumkan keterangan kapan pertama dokumen didistribusikan ke hakim MA. Apalagi, sebelumnya sudah ada kabar bahwa mereka ingin mengambil keputusan sebelum travel ban habis,’’ terangnya.
Terkait pengajuan PK, dia pun mengaku sudah mengantongi bukti baru. Bukti tersebut adalah catatan medis terkait tidak ditemukannya luka bekas pencabulan yang dituduhkan kepada para terdakwa. Catatan tersebut diakui berasal dari sebuah rumah sakit di Belgia Agustus 2015 lalu. ’’Info ini kami dapat dari salah satu jurnalis Kanada. Dari tanggalnya, pemeriksaan ini dilakukan setelah putusan PT Jakarta. Dan hasilnya, negatif. Tidak ditemukan adanya luka atau lecet pada anak-anak. Sangat tidak masuk akal jika tuduhannya anak disodomi selama 30 menit oleh 11 orang,’’ tegasnya.
Tracy Bantleman, istri Neil Bantleman, pun ikut mengungkapkan kekecewaannya terhadap penangkapan suaminya. Apalagi, dia sempat melihat pemberitaan bahwa suaminya berniat melarikan diri. Padahal, saat itu dia memang sedang di Bali untuk berlibur. ’’Kami memang sering melakukan perjalanan untuk berlibur. Tidak ada niat untuk kabur dari penangkapan. Setelah ada kabar itu, kami pun langsung menelpon Kedutaan Besar Kanada dan pulang Kamis malam untuk memenuhi panggilan,’’ ujarnya.
Tak terkecuali, Siska Tjiong yang mengaku sangat geram usai mengalami insiden penangkapan dari pihak PN Jakarta Selatan. Menurutnya, dia merasa suaminya diperlakukan layaknya teroris. Padahal, dia sama sekali tidak ada niat untuk melarikan diri.
’’Rumah kami digedor pukul 02.00 WIB seakan-akan ada perampok masuk. Anak saya menyaksikan sendiri bagaimana 11 orang dilengkapi senjata laras panjang memaksa suami saya ikut subuh-subuh. Sekarang anak saya pun trauma karena ayahnya harus dipisahkan lagi,’’ tegasnya. (bil/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Luhut Minta Babinkamtibmas Deteksi Terorisme dan Jaga Dana Desa
Redaktur : Tim Redaksi