Yang Mangkal Diistilahkan KW, Panggilan Disebut Super

Kamis, 07 Februari 2013 – 23:45 WIB
WTS yang mangkal di Kompleks Happy Beach, Kota Manado, Sulawesi Utara. Foto: Manado Post/JPNN
JARUM jam di tangan kiri sudah menunjukkan pukul 01.13 Wita. Hembusan angin malam itu, serasa menusuk sampai ke sumsum tulang. Ditambah hujan yang mengguyur Manado, Sulawesi Utara (Sulut) seharian penuh, semakin menambah dinginnya malam. Sepanjang jalan menuju Malalayang tampak lengang dan sunyi. Begitupun ketika memasuki lorong, Kompleks Happy Beach.

Namun, setelah menyusuri jalan berbatu sekira 20 meter, tampak kilauan lampu-lampu berwarna merah di samping kiri jalan. Halaman yang cukup luas, dipenuhi dengan mobil berplat hitam yang terparkir. Pantas saja, setelah dilihat dari dekat, tempat tersebut adalah sebuah tempat hiburan malam di Manado. Hujan yang tak kunjung reda, kami pun berteduh di lantai satu club malam tersebut.

Sejam lamanya kami berteduh, tampak mobil-mobil keluar masuk halaman club malam tersebut. Hampir setiap lima menit, ada saja mobil masuk. Sekira pukul 01.30, dari kejauhan lampu mobil bersinar dengan terang, memasuki halaman. Setelah mendekat, tampak di dalam mobil berkilauan lampu-lampu seperti lampu disco.

Seperti telah mengatur janji, tak lama setelah mobil Avanza diparkir, dari samping kiri club malam, keluar gadis muda berpakaian minim hitam. Pakaian hitam membuat kulitnya bersinar.  Tingginya sekira 165 Cm.  Tampak malu-malu lewat di depan kami, ia pun langsung menuju ke mobil Avanza yang sedang menunggu.

Pesatnya perkembangan di Kota Manado, membawa banyak dampak positif bagi masyarakat yang ada. Namun, di segi lain ketatnya persaingan dunia kerja, turut memberi efek negatif. Sulitnya bersaing di dunia kerja karena skill kurang mumpuni, membuat banyak orang mencari jalan pintas. Salah satunya memilih menjadi wanita tuna susila (WTS). Pantauan Manado Post (JPNN Group), bisnis prostitusi di Manado semakin memprihatinkan.

Para WTS semakin terang-terangan dalam bertransaksi di beberapa sudut Kota Manado. Salah satu tempat mangkal terkenal para WTS di kompleks Happy Beach.

‘’Kalau yang mangkal di sana dikenal dengan istilah KW. Kalau yang super, biasa mereka on call. Hanya yang punya jaringan yang bisa mendapatkan yang super ini. Mereka juga biasanya suka pilih-pilih  orang. Yang super ini biasanya bawa mobil sendiri. Otomatis tarifnya lebih mahal, bisa dua bahkan tiga kali lipat dibanding KW,’’ ujar seorang eksekutif muda yang sering menggunakan jasa mereka.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu Pendeta GMIM, Pdt Harald W Poluan, tempat hiburan ini ramai dikunjungi pukul 22.00 Wita ke atas. Para pengunjung kebanyakan lelaki baik yang masih muda sampai tua. Ada juga sebagian kecil perempuan yang datang.

Keramaian yang ada di kompleks itu membuat sebagian orang memanfaatkannya sebagai ‘lahan pekerjaan’. Mereka adalah WTS yang memanfaatkan keramaian itu untuk menjual diri mereka kepada para lelaki yang ingin memuaskan nafsunya dengan imbalan uang.

Dari investigasi yang dilakukan Pdt Harald, setiap malam banyak sekali mobil, taxi, dan motor yang keluar masuk di kompleks tersebut, mencari para WTS untuk memuaskan nafsu seksual mereka.

Kompleks Happy Beach sendiri, banyak dikunjungi karena sudah dikenal menyediakan perempuan-perempuan cantik nan aduhai yang siap memuaskan hasrat seksual para lelaki. Ditambah lagi dengan adanya penginapan dan tempat kos di sekitarnya yang dijadikan tempat prostitusi.

Modus menawarkan diri para WTS pun beragam. Ada yang melalui germo (perantara), tapi ada juga yang beraksi sendiri. Namun biasanya, setiap malam mereka berjejer di pinggir jalan sekitar Happy Beach, menunggu para pelanggan yang ingin memakai tubuh indah mereka.

Info yang didapat, tarif yang diberikan untuk pelanggan bervariasi. “Kalau short time (sekali saja), harganya berkisar Rp500 ribu. Tapi kalau long time (menemani pelanggan semalaman) dibanderol dengan kisaran Rp1 juta,” ungkap salah seorang WTS. Untuk tempat yang biasa dipakai untuk esek-esek, kebanyakan di sekitar kompleks Happy Beach, namun ada juga di hotel-hotel atau penginapan sesuai perjanjian.

Untuk menarik simpati pelanggan, mereka selalu berpakaian minim dan seksi yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya. Suka merayu dengan suara yang lembut, juga memakai parfum wangi yang menggoda.  Dari penelusuran yang dilakukan, ternyata ada yang bisa melayani hingga 4 pelanggan dalam satu malam. “Biasanya sih, kalau banyak pelanggan,” tutur salah seorang WTS.

Penulis yang mulai ada hubungan baik dengan para WTS kemudian menanyakan, faktor apa yang membuat mereka terjun ke dunia prostitusi. Jawaban yang didapat beragam. Ada yang jadi WTS karena hanya iseng-iseng, ada yang karena pengaruh pergaulan bebas.

Ada juga karena masalah dalam keluarga (broken home), yang membuat dirinya kurang dianggap dan tidak diperhatikan dalam keluarga. Namun, jawaban yang diterima paling banyak karena faktor ekonomi.

Tak bisa dipungkiri, faktor ekonomi membuat banyak orang sering mengambil jalan pintas. Tuntutan hidup dengan biaya yang tinggi di Manado, membuat mereka rela mengambil jalan pintas.

Kebutuhan mereka akan uang, membuat mereka terjerat dalam bisnis haram ini. Uang yang mereka dapat, kebanyakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ada untuk uang kos, beli kosmetik, dan ada juga untuk memenuhi kebutuhan anak-anak, dan untuk membantu orang tua. Selain itu, ada juga yang menggunakan uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan sekunder yang tidak mereka dapatkan di rumah. Seperti handphone, perhiasan, pakaian mahal, tas bermerek, dan sepatu yang bagus.

Diketahui, WTS yang sering mangkal di lokasi ini, datang dari berbagai daerah di Sulut. Ada dari Minahasa Raya, Bolaang Mongondouw, Siau, Sangihe, dan dari Manado sendiri. Status mereka pun berbeda-beda. Ada yang sudah menikah tapi cerai, ada yang sudah punya anak tapi tidak ada suami, dan ada yang masih single. Rata-rata umur mereka berkisar 18-30 tahun.

Ketika disinggung dengan efek yang akan diterima, itu dianggap sebagai angin lalu. Penyakit AIDS yang sewaktu-waktu dapat menyerang mereka, tidak dipedulikan. Dikucilkan di masyarakat dan keluarga pun tak dihiraukan. “Untuk melindungi diri, kami biasanya menggunakan alat kontrasepsi. Dikucilkan dalam masyarakat, itu yang kami takuti. Namun sejauh ini, keluarga bahkan masyarakat di tempat tinggal kami, tidak tahu kami bekerja sebagai WTS,” kata mereka.

Keberadaan para WTS di kompleks Happy Beach, tidak mengusik kehidupan warga sekitar. Malahan, mereka mengakui keberadaan WTS turut membantu ekonomi di daerah tersebut. Karena banyaknya usaha kos-kosan yang laris akibat keberadaan mereka. Bahkan, adapula masyarakat yang telah beralih profesi menjadi germo para WTS ini.

Pemerintah setempat pun seakan tak berdaya. “Beberapa waktu lalu kami sudah laporkan hal ini ke kecamatan. Kemudian para WTS ini sempat diamankan Satpol PP namun hanya didata, diberi arahan kemudian dilepaskan kembali. Tapi setelah bebas, mereka kembali lagi kemari,” terang salah satu perangkat kelurahan setempat.

Fenomena ini tentu mencoreng citra Manado yang dikenal juga sebagai Kota Religi. Untuk itu diharapkan peran serta pemerintah yang ada untuk mengatasi fenomena ini. Dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat bekerja sama pihak kepolisian untuk mengatasi para WTS ini, karena sebenarnya mereka adalah generasi muda yang diharapkan menjadi tulang punggung bangsa ke depan.

Juga kiranya dapat menyediakan pekerjaan khusus dan kursus-kursus untuk mengembangkan bakat serta kemampuan demi kelangsungan hidup dan masa depan mereka. Masalah ini memang sangatlah pelik. Partisipasi semua elemen masyarakat sangat diharapkan untuk mengatasi dan memberantas segala bentuk bisnis prostitusi di daerah ini. (ctr-03)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ditodong Pistol, Jaga Jarak Supaya Tak Direkrut

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler