Mengapung di udara dengan bergantung pada balon udara? Bagi sebagian orang, mendengarnya pun sudah bikin merinding. Padahal, sensasinya asyik banget. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO menjajalnya saat liputan di Gold Coast, Australia, awal bulan ini.
SEPERTI kami, matahari lembah Canungra rasanya malas bangun pada pagi sedingin itu Sabtu (1/6). Waktu sudah pukul 05.30. Tapi, cakrawala masih gelap. Kabut merajai areal peternakan dan ladang di wilayah yang terletak di barat laut Gold Coast, Queensland, Australia, tersebut. Menuju ke tempat itu, kami harus berangkat dari hotel di daerah Surfers’ Paradise sejak pukul 04.30.
Dalam suasana temaram itulah, pemandangan tersebut muncul. Dua balon udara raksasa tengah dipompa. Kompresor bertekanan tinggi memasukkan udara pada kantong raksasa berbahan nilon itu. Sesekali gas panas juga dijejalkan memenuhi balon.
Suaranya begitu keras. Jussss, seperti suara kompor gas pada warung-warung martabak. Bedanya, ini puluhan kali lebih keras. Api yang disemburkan pun begitu besar dan tinggi. Saat itu terjadi, udara lembah Canungra menjadi sedikit hangat. Lapangan yang menjadi ”bandara” balon tersebut pun terasa sedikit terang.
Kami, empat wartawan Indonesia yang diundang Tourism Australia dan Tourism and Events Queensland, terus berbincang sembari berfoto-foto sambil menunggu balon benar-benar mengembang dan naik. Tentang dag-dig-dug menjelang terbang dengan balon. Tentang satu rekan wartawan yang mengaku punya vertigo dan takut ketinggian.
Tentang indahnya pemandangan lembah yang akan kami saksikan. Tentang rasa penasaran sebelum masuk ke keranjang rotan yang akan membawa kami mengangkasa hingga setinggi 3 ribu kaki (sekitar 1 kilometer) dari permukaan tanah. Memang, di antara kami, empat wartawan Indonesia dan 16 penumpang lain (total ada 20 penumpang plus 1 pilot dalam satu balon), sama sekali belum ada yang pernah naik balon udara.
Setelah sekitar setengah jam menunggu, balon-balon itu benar-benar mengembang. Dalam kondisi maksimal, tinggi balon mencapai 30 meter atau setara dengan bangunan sepuluh lantai. Volume udara di dalamnya –untuk balon yang mengangkut 20 orang seperti yang kami tumpangi– sekitar 17 ribu meter kubik. Di dalam balon, suhu udara bisa mencapai 300 derajat Celsius.
Dipandu staf Hot Air, operator balon udara yang kami sewa hari itu, satu per satu penumpang naik ke ”kabin”. Kabin tersebut berupa keranjang rotan yang desainnya nyaris tak berubah sejak abad ke-18, ketika balon berawak kali pertama mengangkasa. Sejarah mencatat, balon udara berawak kali pertama terbang pada 1783. Balon itu ciptaan Montgolfier bersaudara dari Prancis.
Cara naik ke keranjang itu sudah ditampilkan dalam video keselamatan dalam minibus yang mengangkut kami dari hotel menuju tempat peluncuran balon. Caranya gampang saja. Satu kaki naik ke tempat pijakan, kaki lain langsung melangkah ke dalam keranjang.
Keranjang tersebut berukuran sekitar 5 x 1,5 meter. Dalamnya dibagi menjadi lima sekat. Empat untuk penumpang (masing-masing berisi lima orang) dan satu untuk pilot yang ditemani empat tabung propana besar.
Di luar dugaan, tinggi dinding keranjang itu hanya seperut orang dewasa. Saya pun sempat merinding khawatir. Bagaimana kalau tiba-tiba ada turbulensi, lalu keranjang bergoyang, lalu penumpang njlungup (terjungkal) keluar dari keranjang dan jatuh. Hiiii...
Ben, pilot kami pagi itu, rupanya menangkap wajah-wajah cemas sebagian penumpangnya. ”Ayo, siapa yang sudah pernah naik balon udara sebelum ini?” tanya dia. Penumpang menggeleng. Tidak ada yang angkat tangan.
”Jangan khawatir. Anda punya teman. Saya juga baru pertama ini nyetir balon,” katanya.
Glek, ini pilot anyaran" Bukannya khawatir dan berloncatan turun, penumpang malah tertawa menyambut gurauan Ben tersebut.
Selama penumpang boarding, Ben terus-menerus menyemburkan api dari ”kompor gas” yang ada di atas kepala kami. Dari jarak sedekat ini, suaranya begitu memekakkan telinga. Tak heran jika Ben selalu memakai sumbat telinga. ”Maaf, saya harus terus memanaskan udara agar balon bisa naik. Tapi, kalau di atas nanti, pasti benar-benar sunyi,” ujar Ben.
Tiba-tiba, setelah sekitar sepuluh menit boarding, seorang staf Hot Air di darat berteriak. ”Oke, Guys, siap" Semua melambai ya...,” serunya.
Saat kami melambai, tiga staf di darat meniup ke arah balon. Bersamaan dengan itu, balon perlahan-lahan naik. ”Hore, tiupan kita berhasil. Mereka terbang,” kata salah seorang di antara mereka sembari berjingkrak. Penumpang tergelak.
***
Kami naik berbarengan dengan matahari yang menggeliat di kaki langit. Cahayanya memburatkan warna kencana. Kabut perlahan-lahan menyingkir, menampakkan pepohonan dan rumah yang bayangannya condong begitu panjang. Elok banget.
Begitu balon mengangkasa, segala ketakutan seakan lenyap. Sensasinya beda.
Tak ada getaran, entakan, dan glodakan seperti saat pesawat berlari di runway. Tak ada goyangan seperti saat pesawat ”menabrak awan” atau melewati turbulensi. Tak ada desau angin yang menggidikkan seperti ketika kita berdiri di tempat yang supertinggi. Tak ada goyangan meski kami sedang ada di keranjang yang bergantung pada balon.
Rasanya begitu smooth. Sunyi. Seperti kapas yang tertiup angin. Dan memang, saat itu kami benar-benar tertiup angin. Balon tersebut bisa berjalan dan melayang karena menunggang angin.
Lewat peranti seperti personal data assistant (PDA) atau komputer genggam yang muncul sekitar lima tahun lalu, Ben membaca angin. Kalau ingin ke utara, misalnya, dia mengubah ketinggian balon hingga mendapatkan angin yang mengarah ke utara. Ya, balon itu memang tidak bisa disetir belok kanan atau kiri. Itu diterangkan pula dalam video keselamatan yang ada di mobil antar jemput kami.
Lalu kenapa sama sekali tak terasa ada angin ketika di atas" Itu karena kami didorong angin sehingga kecepatan gerak kami sesuai dengan kecepatan angin. Kalau angin bertiup 10 kilometer per jam, balon juga bergerak dengan kecepatan itu.
Artinya, kecepatan relatif kami terhadap angin adalah 0 kilometer per jam alias rasanya tak ada angin. Ibaratnya sama seperti kalau Anda menyetir dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Lalu di sebelah Anda ada kendaraan lain yang kecepatannya sama persis. Kalau saling memandang, rasanya kendaraan itu tidak bergerak, bukan?
Hingga mencapai ketinggian hampir 1 kilometer, perasaan kami tetap tenang. Rasanya, kami sudah percaya kepada Hot Air, perusahaan yang menerbangkan balon sejak 1996 di berbagai negara itu. Hot Air juga menerapkan prinsip keselamatan sesuai dengan Civil Aviation Safety Authority (CASA).
Setiap balonnya punya register khusus seperti pesawat. Pilotnya pun harus sudah mengantongi minimal 75 jam terbang pesawat sebelum mendaftar di Hot Air. Mereka menyebut diri sebagai perusahaan paling berpengalaman dan paling aman dalam bisnis balon udara.
Rasa aman itu pula yang membuat penerbangan, eh, proses melayang itu menjadi sangat menyenangkan. Teman kami yang punya vertigo dan takut ketinggian sudah mulai berkarib dengan ketinggian. Semua ketakutan dan kekhawatiran sudah kami tinggal jauh di daratan. Kami sangat menikmati melayang dengan kendaraan terbang tertua yang pernah diciptakan manusia tersebut. Merasakan ketenangannya, merasakan kesunyiannya, melihat kanguru dan walabi berlarian di bawah kami.
Hot Air tak hanya beken sebagai penyelenggara paket wisata. Balon-balonnya pun kerap menjadi tempat pesta, baik ulang tahun, tunangan, hingga pernikahan. Pada 2012 Hot Air menyelenggarakan 55 pemberkatan pernikahan di dalam balon yang mengudara. Di antara itu, ada satu pernikahan yang pengantin prianya lupa membawa cincin kawin!
***
Setelah melayang sekitar 40 menit, kami mendarat di sebuah ladang terbuka. ”Jangan khawatir. Pemilik ladang ini sudah baik dengan Hot Air,” terang Ben.
Berbeda dengan berangkatnya, di proses mendarat ini ada proses guncangan. Bahkan, Ben sengaja menggulingkan keranjang penumpang. ”Awas, pegangan! Ini akan terguling,” serunya.
Kami pun berpegangan pada tali di pinggir keranjang. Saat keranjang benar-benar terguling, kami pada posisi terlentang sambil tertawa-tawa girang.
Dari situ kami kembali diangkut dengan minibus menuju O’Reilly’s Vineyard, perkebunan anggur milik keluarga O’Reilly yang kondang sejak tiga generasi silam sebagai pemilik perkebunan dan resor bertema alam.
Di tempat itu seluruh penumpang makan pagi sembari mencicipi sampanye. Ini adalah tradisi sejak dulu. Penumpang balon yang mendarat selalu melakukan toast dengan sampanye. Yang tak mau mencicipi sparkling wine itu bisa menggantinya dengan minuman yang lain. Apa pun, cheers... (*/c9/ari)
SEPERTI kami, matahari lembah Canungra rasanya malas bangun pada pagi sedingin itu Sabtu (1/6). Waktu sudah pukul 05.30. Tapi, cakrawala masih gelap. Kabut merajai areal peternakan dan ladang di wilayah yang terletak di barat laut Gold Coast, Queensland, Australia, tersebut. Menuju ke tempat itu, kami harus berangkat dari hotel di daerah Surfers’ Paradise sejak pukul 04.30.
Dalam suasana temaram itulah, pemandangan tersebut muncul. Dua balon udara raksasa tengah dipompa. Kompresor bertekanan tinggi memasukkan udara pada kantong raksasa berbahan nilon itu. Sesekali gas panas juga dijejalkan memenuhi balon.
Suaranya begitu keras. Jussss, seperti suara kompor gas pada warung-warung martabak. Bedanya, ini puluhan kali lebih keras. Api yang disemburkan pun begitu besar dan tinggi. Saat itu terjadi, udara lembah Canungra menjadi sedikit hangat. Lapangan yang menjadi ”bandara” balon tersebut pun terasa sedikit terang.
Kami, empat wartawan Indonesia yang diundang Tourism Australia dan Tourism and Events Queensland, terus berbincang sembari berfoto-foto sambil menunggu balon benar-benar mengembang dan naik. Tentang dag-dig-dug menjelang terbang dengan balon. Tentang satu rekan wartawan yang mengaku punya vertigo dan takut ketinggian.
Tentang indahnya pemandangan lembah yang akan kami saksikan. Tentang rasa penasaran sebelum masuk ke keranjang rotan yang akan membawa kami mengangkasa hingga setinggi 3 ribu kaki (sekitar 1 kilometer) dari permukaan tanah. Memang, di antara kami, empat wartawan Indonesia dan 16 penumpang lain (total ada 20 penumpang plus 1 pilot dalam satu balon), sama sekali belum ada yang pernah naik balon udara.
Setelah sekitar setengah jam menunggu, balon-balon itu benar-benar mengembang. Dalam kondisi maksimal, tinggi balon mencapai 30 meter atau setara dengan bangunan sepuluh lantai. Volume udara di dalamnya –untuk balon yang mengangkut 20 orang seperti yang kami tumpangi– sekitar 17 ribu meter kubik. Di dalam balon, suhu udara bisa mencapai 300 derajat Celsius.
Dipandu staf Hot Air, operator balon udara yang kami sewa hari itu, satu per satu penumpang naik ke ”kabin”. Kabin tersebut berupa keranjang rotan yang desainnya nyaris tak berubah sejak abad ke-18, ketika balon berawak kali pertama mengangkasa. Sejarah mencatat, balon udara berawak kali pertama terbang pada 1783. Balon itu ciptaan Montgolfier bersaudara dari Prancis.
Cara naik ke keranjang itu sudah ditampilkan dalam video keselamatan dalam minibus yang mengangkut kami dari hotel menuju tempat peluncuran balon. Caranya gampang saja. Satu kaki naik ke tempat pijakan, kaki lain langsung melangkah ke dalam keranjang.
Keranjang tersebut berukuran sekitar 5 x 1,5 meter. Dalamnya dibagi menjadi lima sekat. Empat untuk penumpang (masing-masing berisi lima orang) dan satu untuk pilot yang ditemani empat tabung propana besar.
Di luar dugaan, tinggi dinding keranjang itu hanya seperut orang dewasa. Saya pun sempat merinding khawatir. Bagaimana kalau tiba-tiba ada turbulensi, lalu keranjang bergoyang, lalu penumpang njlungup (terjungkal) keluar dari keranjang dan jatuh. Hiiii...
Ben, pilot kami pagi itu, rupanya menangkap wajah-wajah cemas sebagian penumpangnya. ”Ayo, siapa yang sudah pernah naik balon udara sebelum ini?” tanya dia. Penumpang menggeleng. Tidak ada yang angkat tangan.
”Jangan khawatir. Anda punya teman. Saya juga baru pertama ini nyetir balon,” katanya.
Glek, ini pilot anyaran" Bukannya khawatir dan berloncatan turun, penumpang malah tertawa menyambut gurauan Ben tersebut.
Selama penumpang boarding, Ben terus-menerus menyemburkan api dari ”kompor gas” yang ada di atas kepala kami. Dari jarak sedekat ini, suaranya begitu memekakkan telinga. Tak heran jika Ben selalu memakai sumbat telinga. ”Maaf, saya harus terus memanaskan udara agar balon bisa naik. Tapi, kalau di atas nanti, pasti benar-benar sunyi,” ujar Ben.
Tiba-tiba, setelah sekitar sepuluh menit boarding, seorang staf Hot Air di darat berteriak. ”Oke, Guys, siap" Semua melambai ya...,” serunya.
Saat kami melambai, tiga staf di darat meniup ke arah balon. Bersamaan dengan itu, balon perlahan-lahan naik. ”Hore, tiupan kita berhasil. Mereka terbang,” kata salah seorang di antara mereka sembari berjingkrak. Penumpang tergelak.
***
Kami naik berbarengan dengan matahari yang menggeliat di kaki langit. Cahayanya memburatkan warna kencana. Kabut perlahan-lahan menyingkir, menampakkan pepohonan dan rumah yang bayangannya condong begitu panjang. Elok banget.
Begitu balon mengangkasa, segala ketakutan seakan lenyap. Sensasinya beda.
Tak ada getaran, entakan, dan glodakan seperti saat pesawat berlari di runway. Tak ada goyangan seperti saat pesawat ”menabrak awan” atau melewati turbulensi. Tak ada desau angin yang menggidikkan seperti ketika kita berdiri di tempat yang supertinggi. Tak ada goyangan meski kami sedang ada di keranjang yang bergantung pada balon.
Rasanya begitu smooth. Sunyi. Seperti kapas yang tertiup angin. Dan memang, saat itu kami benar-benar tertiup angin. Balon tersebut bisa berjalan dan melayang karena menunggang angin.
Lewat peranti seperti personal data assistant (PDA) atau komputer genggam yang muncul sekitar lima tahun lalu, Ben membaca angin. Kalau ingin ke utara, misalnya, dia mengubah ketinggian balon hingga mendapatkan angin yang mengarah ke utara. Ya, balon itu memang tidak bisa disetir belok kanan atau kiri. Itu diterangkan pula dalam video keselamatan yang ada di mobil antar jemput kami.
Lalu kenapa sama sekali tak terasa ada angin ketika di atas" Itu karena kami didorong angin sehingga kecepatan gerak kami sesuai dengan kecepatan angin. Kalau angin bertiup 10 kilometer per jam, balon juga bergerak dengan kecepatan itu.
Artinya, kecepatan relatif kami terhadap angin adalah 0 kilometer per jam alias rasanya tak ada angin. Ibaratnya sama seperti kalau Anda menyetir dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Lalu di sebelah Anda ada kendaraan lain yang kecepatannya sama persis. Kalau saling memandang, rasanya kendaraan itu tidak bergerak, bukan?
Hingga mencapai ketinggian hampir 1 kilometer, perasaan kami tetap tenang. Rasanya, kami sudah percaya kepada Hot Air, perusahaan yang menerbangkan balon sejak 1996 di berbagai negara itu. Hot Air juga menerapkan prinsip keselamatan sesuai dengan Civil Aviation Safety Authority (CASA).
Setiap balonnya punya register khusus seperti pesawat. Pilotnya pun harus sudah mengantongi minimal 75 jam terbang pesawat sebelum mendaftar di Hot Air. Mereka menyebut diri sebagai perusahaan paling berpengalaman dan paling aman dalam bisnis balon udara.
Rasa aman itu pula yang membuat penerbangan, eh, proses melayang itu menjadi sangat menyenangkan. Teman kami yang punya vertigo dan takut ketinggian sudah mulai berkarib dengan ketinggian. Semua ketakutan dan kekhawatiran sudah kami tinggal jauh di daratan. Kami sangat menikmati melayang dengan kendaraan terbang tertua yang pernah diciptakan manusia tersebut. Merasakan ketenangannya, merasakan kesunyiannya, melihat kanguru dan walabi berlarian di bawah kami.
Hot Air tak hanya beken sebagai penyelenggara paket wisata. Balon-balonnya pun kerap menjadi tempat pesta, baik ulang tahun, tunangan, hingga pernikahan. Pada 2012 Hot Air menyelenggarakan 55 pemberkatan pernikahan di dalam balon yang mengudara. Di antara itu, ada satu pernikahan yang pengantin prianya lupa membawa cincin kawin!
***
Setelah melayang sekitar 40 menit, kami mendarat di sebuah ladang terbuka. ”Jangan khawatir. Pemilik ladang ini sudah baik dengan Hot Air,” terang Ben.
Berbeda dengan berangkatnya, di proses mendarat ini ada proses guncangan. Bahkan, Ben sengaja menggulingkan keranjang penumpang. ”Awas, pegangan! Ini akan terguling,” serunya.
Kami pun berpegangan pada tali di pinggir keranjang. Saat keranjang benar-benar terguling, kami pada posisi terlentang sambil tertawa-tawa girang.
Dari situ kami kembali diangkut dengan minibus menuju O’Reilly’s Vineyard, perkebunan anggur milik keluarga O’Reilly yang kondang sejak tiga generasi silam sebagai pemilik perkebunan dan resor bertema alam.
Di tempat itu seluruh penumpang makan pagi sembari mencicipi sampanye. Ini adalah tradisi sejak dulu. Penumpang balon yang mendarat selalu melakukan toast dengan sampanye. Yang tak mau mencicipi sparkling wine itu bisa menggantinya dengan minuman yang lain. Apa pun, cheers... (*/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awalnya Hanya Punya 20 Ekor Sapi
Redaktur : Tim Redaksi