jpnn.com - Yusman Talembanua nyaris dieksekusi mati. Dia mengandalkan hasil analisis gigi dan tulang di sidang peninjauan kembali.
Selain bakal menemui keluarga korban pembunuhan untuk menjelaskan dirinya tak bersalah, dia berencana bersekolah lagi.
BACA JUGA: Siti Khotimah Bersimbah Darah
JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Jakarta
PRIA itu masih agak kagok berbicara di depan banyak orang. Saat mikrofon diberikan kepadanya, dia malah seperti bingung.
BACA JUGA: Ayah Kejam Pembunuh Anak Tiri Divonis 20 Tahun
’’Saya bicara apa?’’ kata pria itu di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta, Selasa siang (10/10).
Matanya melirik ke kanan dan kiri. Baru setelah mendapatkan arahan, Yusman Talembanua, pria tersebut, mulai berbicara dalam acara yang dihelat untuk memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia tersebut.
BACA JUGA: Bunuh Kakak Tiri demi Melindungi Ibu
Yusman memang belum genap dua bulan menghirup udara bebas. Bahkan, napasnya hampir saja terhenti di depan regu tembak.
Upaya hukum tak kenal lelah dari KontraS dan pembuktian secara forensik akhirnya membuat pria tidak tamat SD itu luput dari hukuman mati.
Semua bermula April lima tahun silam. Ketika itu, pria kelahiran Nias, 30 Desember 1996, tersebut mengantarkan bosnya di kebun tempatnya bekerja, Jimmi Trio Girsang, dan dua temannya, Kolimarinus Zega dan Rugun Br Halolo, membeli tokek kepada kakak iparnya, Rusula Hia.
Berdasar data petikan putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli, pembunuhan itu terjadi pada dini hari sekitar pukul 02.30, 24 April 2012.
Mereka berangkat ke rumah Rusula dengan diantar naik sepeda motor oleh Amosi Hia, Ama Pasti Hia, dan Ama Fandi Hia.
Tapi, di kebun yang tak jauh dari rumah Rusula di Dusun III Hiliwaoyo, Desa Gunung Tua, Kecamatan Tugala Oyo, Kabupaten Nias Utara, tiga orang (Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br Halolo) itu dibunuh dan dibakar. Kepala mereka juga dipenggal.
’’Bos bilang selamatkan diri kalian masing-masing,’’ kata Yusman mengingat-ingat peristiwa berdarah itu.
Yusman bersikukuh bahwa dirinya tak terlibat pembunuhan itu. Tapi, karena ketakutan, dia melarikan diri sebelum akhirnya ditangkap polisi pada September 2012.
Rusula juga tertangkap. Sedangkan Amosi Hia, Ama Pasti Hia, dan Ama Fandi Hia masih buron sampai sekarang.
Pada waktu itu, Yusman hanya menyangka akan diperiksa sebagai saksi. ’’Saya dikasih foto bos. Saya bilang kenal, lalu saya dibawa ke kantor polisi,’’ ujar Yusman yang baru tiga tahun terakhir fasih berbahasa Indonesia.
Versi Yusman, dirinya dipaksa mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya itu bersama sang kakak ipar, Rusula Hia, yang juga tertangkap.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara, Yusman juga baru tahu kalau usianya dinaikkan menjadi 19 tahun. Dia sempat membantah di pengadilan dan menjelaskan bahwa usianya belum genap 16 tahun.
Pada saat sidang pembacaan dakwaan, jaksa menuntut hukuman seumur hidup. Yusman tidak langsung paham apa arti tuntutan seumur hidup itu.
Sekembali ke lapas, baru dia menanyakan kepada teman. ’’Dibilangin seusia kamu ditahan. Kalau 19 tahun, ya 19 tahun nanti bebas,’’ kata Yusman menirukan temannya.
Penjelasan itu menyesatkan. Hukuman seumur hidup tentu saja dihukum sampai mati.
Vonis hakim yang diketok pada 21 Mei 2013 ternyata lebih berat: hukuman mati. Rusula juga divonis serupa. Tidak ada upaya banding yang diajukan.
Yusman yang sebelumnya dibui di Lapas Gunungsitoli, Nias, lantas dipindahkan ke Lapas Tanjung Gusta, Medan. Kurang dari sebulan, karena ada kebakaran lapas tersebut, Yusman dipindahkan ke Nusakambangan.
Di lapas itulah dia baru tahu apa itu hukuman mati. Ditembak di depan regu tembak.
Yusman langsung tidak bisa tidur. Apalagi setelah beberapa waktu kemudian dia tahu ada rekan sekamarnya yang dibawa petugas untuk menjalani eksekusi mati.
’’Saya sampai minta obat tidur ke klinik. Makan tidak enak. Malam-malam terbangun begitu dengar suara pintu sel dibuka,’’ ujarnya.
Nasiblah yang kemudian mempertemukan Yusman dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly pada akhir 2014.
Yusman yang menggunakan bahasa lokal Nias pun berkomunikasi dengan Yasonna yang juga dari Nias. Yasonna berjanji membantu.
Kondisi Yusman itu pun akhirnya diketahui KontraS. Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia menuturkan, mereka langsung menemui Yusman membicarakan kasusnya.
Yusman diupayakan untuk pindah ke Lapas Tangerang agar pendampingan hukum jadi lebih mudah. Bukti-bukti baru dicari untuk memastikan usia Yusman.
’’Kami dapat data dari gereja soal usia Yuman. Tapi, yang tertulis di buku itu nama panggilan Yusman saat kecil, Ucok. Ada berapa banyak anak yang punya nama Ucok,’’ ungkap Putri.
Tidak ada akta kelahiran yang dimiliki keluarga Yusman. SD saja Yusman tidak tamat.
Mereka pun mencari bukti lain. Hingga akhirnya bertemu dengan Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI).
Dari diskusi dengan pengurus AIFI, mereka pun dikenalkan dengan drg Fahmi Oscandar yang mendalami radiologi forensik kedokteran gigi dari Universitas Padjadjaran Bandung.
Yusman yang sebelumnya berada di Lapas Tangerang pun dipindahkan ke Lapas Sukamiskin, Bandung.
’’Tesnya sebenarnya sehari. Tapi, pengurusan pindah lapas itu yang lama, berbulan-bulan,’’ kata Putri.
Pemeriksaan terhadap Yusman baru bisa dilakukan pada 17 November 2015. Fahmi mengungkapkan, dirinya menggunakan empat metode untuk memastikan usia Yusman.
Yakni, metode AL Qahtani dan Van Heerden untuk menganalisis gigi. Juga, dua metode untuk analisis tulang, Greulich and Pyle dan Schaffer.
’’Sehingga aspek dari human error bisa sekecil mungkin,’’ kata Fahmi kepada Jawa Pos.
Prinsipnya, dalam analisis gigi itu, salah satunya, dilihat panjang akar gigi geraham. Sedangkan tulang yang diperiksa adalah rongga sinus maksilaris dan penghitungan tulang pergelangan tangan sampai telapak tangan.
Hasilnya, pada saat pemeriksaan 17 November 2015 itu, diketahui usia Yusman 18,5 tahun dengan mode Al Qahtani dan 18,4–18,5 tahun dengan metode Van Heerden.
Sedangkan dengan metode Greulich and Pyle, usianya 18–19 tahun dan dengan metode Schaffer berusia 17–18 tahun.
Artinya, pada 2012 saat kejadian pembunuhan itu, Yusman berusia sekitar 15 tahun. Mengutip situs Hukum Online, menurut pasal 45 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), ’’Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dan seterusnya’’.
Masih dari Hukum Online, R. Soesilo dalam bukunya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 61), menjelaskan bahwa yang dimaksud ’’belum dewasa’’ adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, dia tetap dipandang dewasa.
Sidang peninjauan kembali (PK) Yusman dilakukan di PN Gunungsitoli. Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia menjelaskan, meskipun PK di MA, pemeriksaan berkas dan saksi atau ahli harus tetap dilakukan di PN setempat.
Setelah itu, berita acara persidangan dikirim ke MA untuk ditelaah dan diperiksa MA. Selanjutnya, MA mengambil putusan.
’’Apalagi kalau PK-nya karena terpidana gak ngajuin banding dan kasasi. Makanya harus ada pemeriksaan berkas hanya 2–3 kali sidang,’’ jelas Putri yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Pada kasus Yusman, hak untuk banding dan kasasi tidak digunakan karena batas waktunya telah habis. Kuasa hukum langsung mengajukan peninjauan kembali.
Fahmi sebagai ahli radiologi forensik kedokteran gigi pun dihadirkan untuk membeberkan hasil penelitiannya terhadap gigi dan tulang Yusman.
Pada 31 Januari 2017, MA akhirnya mengeluarkan putusan bahwa hukuman pidana mati Yusman diubah menjadi pidana 5 tahun. Yusman tetap dinyatakan turut serta dalam pembunuhan 2012 silam.
Menurut Fahmi yang sedang menempuh program doktoral di Universiti Sains Malaysia, penjelasannya secara ilmiah direspons hakim dengan baik. ’’Ini masalah nyawa. Ya tentu bagi saya ini jadi motivasi saya kerja secara sungguh-sungguh,’’ ujarnya.
Yusman pun akhirnya bebas pada 17 Agustus setelah mendapat remisi sebulan.
Tapi, dia tidak langsung pulang ke kampung halamannya di Hilionozega, Nias. Melainkan dibawa ke Jakarta lebih dahulu. Yusman diperiksakan ke dokter untuk mengecek kondisi fisiknya.
’’Kami juga bawa dia ke psikolog. Saran dari psikolog, diminta untuk sering-sering diajak bicara,’’ ungkap Putri.
Yusman menuturkan, dirinya baru bisa pulang menemui keluarganya pada akhir Agustus. Awalnya, dia takut dengan warga di kampungnya di Kecamatan Idano Gawo itu. Khawatir masih tidak ada kata maaf untuk dirinya.
’’Tapi, saat saya datang, orang-orang kampung dan teman datang ke rumah. Banyak mengobrol dengan saya,’’ ungkapnya.
Dia senang bisa mengobrol dan menceritakan kehidupan di penjara. Meskipun rasa trauma juga masih sering datang. Mulai disiksa petugas hingga mengerikannya mendengar hukuman mati.
Tapi, di penjara pula dia belajar menulis dan membaca. Salah satu gurunya adalah mantan Ketua KPK Antasari Azhar saat di Lapas Tangerang. Yusman kebetulan seblok dengan Antasari di blok G.
’’Mungkin karena kasihan saya mau dihukum mati. Pak Antasari ajarin saya menulis,’’ kata Yusman.
Sebagai imbal balik, dia membuatkan kopi atau memasakkan mi instan untuk Antasari. ’’Besok malam (malam ini) mau ketemu dengan Pak Antasari,’’ ujar Yusman.
Yusman berencana bisa bersekolah meskipun itu hanya kejar paket. Dia ingin menata lagi kehidupannya setelah liku-liku hidup yang hampir saja membawanya ke depan regu tembak.
’’Saya juga ingin bertemu keluarga bos untuk menjelaskan bahwa saya tidak bersalah. Saya ingin minta maaf,’’ katanya.
Putri menuturkan, saat ini KontraS juga sedang mengadvokasi sedikitnya tiga orang lain yang terancam mendapat hukuman mati.
Berkaca pada kasus Yusman, tidak semua peradilan bisa berjalan fair terhadap terdakwa. Hukum bisa begitu mudah menjatuhkan pidana mati.
’’Dalam kasus Yusman, yang dirugikan bukan hanya dia. Tapi juga keluarga korban yang tentu masih tahu siapa pelaku sebenarnya. Ini jadi tugas polisi untuk mengusutnya,’’ tegasnya. (*/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sering Diajak Ngobrol Remaja, Istri Dibunuh Suami
Redaktur : Tim Redaksi