jpnn.com, JAKARTA - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi mensosialisasikan program Moderasi Beragama di lingkungan guru dan tenaga kependidikan di sekolah Indonesia Makkah (SIM), Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) dan Sekolah Indonesia Riyadh (SIR).
Sosialisasi yang berlangsung 24-27 Desember 2019 tersebut mendapat sambutan hangat para siswa, guru dan tenaga kependidikan di $audi Arabia.
BACA JUGA: Pernyataan Wamenag Zainut Tauhid soal Cadar dan Celana Cingkrang
Kunjungan kerja Wamenag yang juga Wakil Ketua Umum MUI Pusat ini terasa istimewa. Selain berdialog tentang program pendidikan keagamaan (Islam) Kementerian Agama di sekolah umum, Wamenag juga memaparkan gagasan Islam Moderat (Islam Wasathiyah) dan ancaman pemikiran gerakan radikalisme dalam beragama bagi keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Banyak faktor seseorang atau kelompok masyarakat menjadi radikal. Agama tidak memonopoli menjadi penyebab utama seseorang menjadi radikal," kata Zainut dalam pesan elektroniknya, Sabtu (29/12).
BACA JUGA: SKB Penanganan Radikalisme ASN, Menteri Tjahjo: Kalau Mau Nyinyir Silakan Saja
Radikalisme juga bisa bersumber dari masalah ekonomi, politik, dan kesenjangan sosial. Radikalisme sendiri bisa bermakna positif dan negatif tergantung pada konteks ruang dan waktu sebagai latar belakang penggunaan istilah tersebut.
Di antara pandangan radikal misalnya pemahaman yang menganggap paham keagamaannya paling benar.
BACA JUGA: Apa Motif Anggota Polri Siram Novel Baswedan Pakai Air Keras?
“Memandang paham praktik beragama orang lain salah dan sesat. Sikap mudah mengkafirkan orang Islam dan berlebihan dalam beragama termasuk ke dalam sikap radikal tersebut,” ujar Zainut.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, lanjut Zainut, menolak konsep final Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika adalah bentuk sikap radikal. Keempat pilar kebangsaan ini, tegas Wamenag, adalah kesepakatan yang dihasilkan oleh para tokoh pendiri bangsa pada saat awal pembentukan negara bangsa Indonesia yang tidak boleh dingkari dan harus menjadi fondasi hidup bersama.
Karenanya, meskipun paham khilafah diakui oleh kalangan ulama sebagai ajaran Islam dan pernah ada dalam sejarah peradaban umat Islam. Namun konsep tersebut tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Hal itu karena bangsa Indonesia telah memiliki sebuah kesepakatan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam praktiknya negara Pancasila menjamin semua agama untuk hidup dan menjamin warga negaranya untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Khilafah bukanlah satu-satunya konsep politik atau bentuk negara/pemerintahan dalam Islam.
Yang wajib adalah mendirikan negara, sedangkan bentuk negara/pemerintahan dan mekanismenya merupakan wilayah ijtihad yang boleh jadi setiap negara berbeda dan hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. "Karenanya banyak negara muslim di dunia memiliki bentuk pemerintahan yang beragam."
Indonesia sendiri sudah memiliki konsep sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik, maka secara otomatis konsep khilafah tertolak dengan sendirinya.
"Bukan ditolak, tetapi tertolak karena bangsa Indonesia telah memiliki kesepakatan tentang bentuk negara dan dasarnya, Pancasila", tegas Zainut. (esy/jpnn)
Ujaran Kebencian Turun 80 Persen:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad