Akan Lebih Bermanfaat Jika SBY Terbitkan Keppres HAM
jpnn.com - JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Sidarto Danusubroto mengatakan, dalam sisa waktu kepemimpinannya akan lebih bermanfaat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) semasa Orde Baru berkuasa.
Penegasan tersebut dikatakan Sidarto Danusubroto, saat menerima delegasi Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), di gedung Nusantara III, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (2/12). Ia di dampingi anggota MPR Eva Kusumah Sundari dan Rieke Diah Pitaloka.
"MPR mendukung Presiden SBY menerbitkan Keppres tentang Pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru. Dukungan itu tentunya diberikan MPR setelah SBY membicarakannya terlebih dahulu dengan DPR, Mahkamah Agung, Komnas HAM, dan lembaga terkait lainnya," kata Sidarto Danusubroto.
Menurtunya, Keppres tersebut penting karena korban pelanggaran HAM masa Orde Baru hingga kini masih merasa dikerangkeng hak-haknya oleh negara. Terlebih negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang seharusnya kata dia wajib bagi bangsa dan negara ini untuk memanusiakan manusia.
"Ini, malah kalah dengan negara Jepang, China, Korea, dan negara lainnya dalam berperilaku ketuhanan dalam hal kemanusiaan,” tegasnya.
Selain itu, Sidarto juga berharap agar korban pelanggaran HAM tidak putus asa dan terus berjuang untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. “Kita harus terus semangat, terus berjuang menegakkan HAM. Kalau bisa sastrawan almarhum Pramoedya Ananta Toer harus dipulihkan hak-haknya dan dijadikan pahlawan karena dengan karya sastranya Indonesia dikenal dunia,” harap Sidarto.
Lebih lanjut, dia membanding ketidakadilan perlakuan negara terhadap keluarga koruptor dengan keluarga eks tahana politik. "Anak-anak koruptor triliunan rupiah bisa hidup bebas dan bermewah-mewah. Sementara keluarga tahanan politik seperti yang dialami keluarga Pramoedya, hidup miskin karena harus menanggung beban politik masa lalu yang dia sendiri tidak tahu,” ujar politisi PDIP itu.
Terakhir dikatakannya, Indonesia adalah negara besar sama halnya dengan China dan Amerika Serikat. "Sebagai negara besar, harus ada batasan hukuman dan itu terukur. Apalagi menghukum warga negara yang dinilai berbeda ideologi politik ketika itu. Presiden mestinya menganggap ini penting agar tidak ada stigma politik bagi cucu dan keturunannya dimasa datang,” imbuhnya. (fas/jpnn)