Anggap Pilpres Hanya untuk Cari Antitesis SBY
jpnn.com - JAKARTA - Pemilu presiden (pilpres) yang akan digelar 9 Juli mendatang terkesan hanya sekadar mencari figur antitesis bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selama ini dipersepsikan gagah, besar, bicara sistematis dan hidup dalam keteraturan protokoler kenegaraan. Padahal, siapapun presiden yang terpilih nanti tetap akan terikat protokoler sehingga tak leluasa menemui rakyat.
Hal itu dikatakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Sulawesi Barat, Asri Anas dalam diskusi di press room DPD, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat (16/5). "Padahal, siapa pun, kalau sudah jadi presiden harus mengikuti standar protokoler kenegaraan dan konsisten menjaga citra. Tidak ada itu, yang namanya presiden mudah ditemui oleh rakyatnya. Kecuali elit parpol yang mengusungnya," tegas Asri.
Asri menambahkan, DPD dalam konteks pilpres akan tetap mendorong calon presiden (capres) yang ideal untuk mengurus bangsa dan negara. Menurutnya, sejauh ini belum muncul calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) yang sensitif terhadap kondisi bangsa. Asri menegaskan bahwa hal itu merupakan produk dari pemilu legislatif (pileg) yang tidak bermutu.
"Usai pileg muncul para capres dan cawapres yang tidak mengerti kondisi bangsa baik secara internal maupun eksternal. Ini akibat dari pemilu yang paling kurang ajar," ulasnya.
Ia bahkan menyebut pileg yang digelar 9 April lalu sebagai pemilu yang paling jorok. Sebab, politik uang sangat marak. "Sudah 20 tahun saya ikut pemilu. Ini yang paling jorok politik uangnya," ujarnya.
Karenanya Asri meyakini pileg yang penuh praktik kotor itu akan berimbas ada pilpres 9 Juli nanti. "Pilpres pasti akan lebih kurang ajar dan lebih jorok lagi karena pilpres merupakan panggung parpol untuk berebut kekuasaan di eksekutif. Ini cocok betul dengan karakter parpol di Indonesia yang kerjanya hanya mengejar-ngejar kekuasaan," tegas dia.(fas/jpnn)