Aset BUMN Dijual ke Asing, PKS: Bagaimana Nasib Cucu Kita?
Karena itu, harus ada jaminan agar aset strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak itu tetap dikuasai negara karena ini merupakan amanat konstitusi.
Salah satu yang dikritisi Sukamta adalah kebijakan holding sektor pertambangan seiring Peraturan Pemerintah (PP) nomor 47 tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Saham Perusahan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menempatkan PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk sebagai anak perusahaan PT Inalum.
Padahal, lanjut Sukamta, berdasarkan PP nomor 72 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
"Berarti anak perusahaan BUMN (PT Antam, PT Timah dan PT Bukit Asam) tidak lagi berstatus BUMN, karena sebagian besar sahamnya tidak lagi dimiliki negara. Akibatnya, pemerintah melalui menteri BUMN tidak memiliki kewenangan terhadap anak perusahaan BUMN," kata Sukamta dalam sambutannya.
Dia mengatakan serangkaian kebijakan ini akan berdampak luas, berpotensi membahayakan BUMN serta aset dan kekayaan bangsa.
Dia menilai cukuplah sudah kasus Indosat jadi pembelajaran bagi bangsa ini. Dengan perubahan struktur BUMN seperti ini, maka peluang untuk melepas dan mengalihkan saham-saham perusahaan yang bukan lagi masuk definisi BUMN menjadi terbuka.
Apalagi di sisi lain, pemerintah sedang membutuhkan dana segar Rp 500 triliun untuk membiayai proyek infrastruktur yang sudah terlanjur dibangun, membayar utang jatuh tempo serta untuk divestasi saham Freeport senilai Rp 50 triliun hingga Rp 100 triliun.
Fraksi PKS, lanjut Sukamta, akan terus mengkritisi dan mengawasi kebijakan holding BUMN khususnya sektor pertambangan dengan memastikan bahwa anak perusahaan BUMN yang ada tidak keluar dari strategi besar holding.