Baru Tahu Anaknya Sodomi 23 Siswa, Pensiunan Polisi itu Menangis
SURABAYA – Sopir angkot cabul, Triono Agus Widianto alias Aan akhirnya mulai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kemarin. Pelaku yang mencabuli 23 siswa SMP itu sangat shock sampai menolak keluar dari rutan sementara di pengadilan. Sidang tersebut merupakan kemunculan Aan kali pertama sejak dipenjara di Polsek Benowo pada 24 Mei 2016.
Aan tiba di PN Surabaya bersama terdakwa lain dengan naik bus tahanan. Fariji, penasihat hukumnya, menyalami sopir lin I itu sebelum masuk ke ruang tahanan sementara.
Sidang baru digelar sekitar pukul 15.00. Jaksa Irene Ulfa sempat kesulitan untuk membawa Aan keluar ruang tahanan menuju ruang sidang Tirta. Dia menolak keluar tanpa alasan yang jelas. Bisa jadi, dia sudah menduga kedatangannya ditunggu banyak awak media.
Fariji kemudian mendatangi Aan di ruang tahanan. Anak ketiga di antara empat bersaudara itu langsung menggamit tangan pengacara dari LBH Lacak tersebut. Aan berjalan ke ruang sidang dengan didampingi jaksa dan pengacaranya. Selama berjalan, tangan kirinya selalu menarik ujung rompi di bagian leher untuk menutupi wajahnya.
Saat berjalan menuju ruang sidang, dia melewati kerumunan pengunjung pengadilan. Di antara kerumunan itu, ada Ibnu Susanto, bapak kandung Aan. Dia datang ke pengadilan hanya untuk melihat kondisi anaknya yang sedang didera masalah hukum serius. Air mata kesedihan meleleh dari mata pensiunan polisi yang single parent itu.
Tidak ada kata-kata yang terucap dari pria tersebut. Dia diam mematung. Hanya tangan yang sibuk menutupi wajahnya karena mengusap air mata yang terus meleleh. Setelah Aan melewati kerumunan itu, bapaknya langsung menghilang. Ibnu tidak mengikuti Aan ke ruang sidang. Dia juga tidak melihat bagaimana Aan disidang.
Wajar jika Ibnu menangis melihat putranya begitu. Pasalnya, keluarga ini tidak ada yang tahu bahwa Aan menderita disorientasi seksual. Dia menyukai sesama jenis.
"Saya melihatnya waktu lewat saja. Di sini (sekitar ruang sidang, Red), tidak ada," kata Fariji. Menurut dia, Aan tidak tahu bahwa bapaknya datang.
Wajah Aan terlihat tegang ketika duduk di bangku pengunjung ruang sidang saat menunggu hakim. Urat lehernya terlihat menegang.
Keringatnya mengucur deras meski angin bertiup sepoi-sepoi dari pintu besar khas bangunan peninggalan Belanda. Sorot matanya terus memandang tajam ke arah lantai.
Jawa Pos sempat mengajak Aan mengobrol. Dia tetap terlihat sibuk dengan tatapan matanya ke lantai. Aan hanya melambaikan tangan dengan kaku ketika ditanya tentang masalah hukum yang sedang menderanya. "Dia sangat depresi. Biarkan tenang dulu, ya," ucap Fariji.
Dia mengatakan, ketegangan itu sebenarnya terjadi sejak kasusnya ditulis Jawa Pos. Aan menjadi sangat pendiam. Bahkan, keluarganya kesulitan untuk mendekati Aan. Di dalam rutan, dia tidak pernah berinteraksi dengan sesama penghuni. Waktunya setiap hari banyak dihabiskan di dalam sel.
Dari pengakuan yang diterimanya, Aan sangat drop karena dia menjadi sorotan. Aan tidak membayangkan bahwa perbuatannya bakal menarik perhatian masyarakat luas. Sebab, dia beranggapan bahwa yang dilakukannya ''hanya'' melampiaskan hasrat seksual.
Aan lebih shock ketika mendengar bahwa dirinya bisa dihukum kebiri. "Aan belum mengerti. Hukuman itu baru bisa diterapkan ketika sudah ada aturan pelaksananya. Sekarang belum," ujarnya.
Karena itulah, dia meminta agar Aan fokus menghadapi pembuktian. Fariji membenarkan bahwa kliennya melakukan pencabulan. Tapi, dia menampik tuduhan bahwa Aan juga menyodomi korban. Bantahan itu konsisten diucapkan karena Aan merasa tidak melakukan perbuatan tersebut.
Sementara itu, dalam sidang kemarin, jaksa Irene membacakan surat dakwaan. Setelah sidang, Irene mengatakan bahwa pencabulan dilakukan terdakwa secara berlanjut. Berdasar berkas yang diterimanya dari penyidik, jumlah korban sebanyak tujuh orang.
"Mereka siswa semua," ucapnya.
Ditanya tentang bantahan terdakwa yang telah menyodomi korban, jaksa penyuka yoga itu tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bagi dia, bantahan adalah hak terdakwa dan pengacaranya. Hanya, Irene memastikan bahwa berdasar berkas yang diterimanya, ada satu korban yang mengaku disodomi.
Aan dijerat dengan pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Ditanya soal rencana tuntutan kebiri, Irene mengatakan masih menunggu fakta sidang. "Pembuktiannya saja belum. Lihat saja nanti bagaimana," ujarnya.
Sidang ditunda pekan depan dengan agenda pemeriksaan para saksi. Rencananya, polisi yang mengusut perkara tersebut. Dia juga belum bisa memastikan apakah tujuh korban dihadirkan dalam sidang mendatang.
Sebagaimana diberitakan, Aan diseret ke meja hijau karena mencabuli 23 siswa SMP. Dari jumlah itu, hanya tujuh siswa yang mau menjadi pelapor. Mereka dicabuli secara bergiliran sejak 2014 hingga Februari 2016. Modusnya, sebagai sopir angkot, Aan menggratiskan ongkos bagi korban saat berangkat dan pulang sekolah.
Pelaku menjamu korban dengan makan dan minum gratis di warung. Dia juga memberikan bimbingan pelajaran. Sebagai imbalan, para siswa diperlakukan cabul. Mulai onani sampai sodomi. Korban takut menceritakan perlakuan Aan karena diancam akan dipukuli. (eko/c7/dos/flo/jpnn)