Bawang Yawuyoko
Oleh: Dahlan IskanPemuda Disway itu pamit. Senin besok mau kembali ke Wamena. Lewat Jayapura.
Namanya: Faruq Aten Asso. Umur 27 tahun. Ia Islam sejak lahir, di pegunungan Jayawijaya. Demikian juga kakak perempuan dan adik laki-lakinya. SD-nya pun di madrasah ibtidaiah di kampung itu.
Lalu dapat beasiswa ke pesantren di Parung. Dari Parung ia kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Tidak tamat. Lalu menyelesaikan kuliah di universitas swasta dengan mahasiswa terbesar di Indonesia: Universitas Pamulang.
Di Jayawijaya ia punya masjid. Kalau Jumat ia yang berkhotbah. Waktu peringatan Maulid Nabi dua minggu lalu ia menyelenggarakan acara adat setempat: bakar batu.
Di sana, acara bakar batu sangat spesial. Natal bakar batu. Kematian, bakar batu. Perkawinan bakar batu. Iduladha bakar batu. Ada yang untuk ulang tahun pun bakar batu.
Saya pernah disambut acara bakar batu di sana. Orang sekampung berkumpul. Di tanah ladang yang lapang. Tanpa peduli agamanya apa. Yang penting sama-sama berkulit hitam dan berambut keriting. Pun kalau ada pendatang. Yawuyoko lebih penting dari perbedaan keyakinan. Mereka saling bantu.
Upacara bakar batu tidak bisa dilakukan sendirian. Harus orang banyak.
Pekerjaan pertama: menggali tanah. Bikin kubangan. Cukup dalam. Lebih 1 meter. Lalu mengumpulkan kayu kering.