Beasiswa Dokter Spesialis Mangkrak
Malas Ditempatkan di Daerah, Pilih RS SwastaJAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan Indonesia masih kekurangan tiga ribu dokter spesialis. Ironisnya, beasiswa pendidikan dokter spesialis yang disediakan pemerintah minim peminat.
Setiap tahun Kemenkes menyediakan sekitar 700 beasiswa pendidikan dokter spesialis. Para dokter yang menempuh pendidikan spesilis dan gigi spesialis ini mendapat fasilitas biaya perkuliahan, buku, fasilitas penunjang pendidikan, dan biaya hidup. Besaran beasiswa yang diterima peserta mencapai Rp 40 juta per semester.
Beasiswa ini diberikan selama masa pendidikan dokter spesialis dan gigi spesialis hingga kelulusan yang diperkirakan memakan waktu sekitar empat hingga enam tahun. Namun, sejak dibuka pada 1 April lalu, baru sekitar 290 dokter yang melamar. Padahal, pemerintah sudah melonggarkan syarat pendaftaran.
Diantaranya, dokter hanya perlu mendaftar secara online dengan melampirkan data diri, IPK, dan surat rekomendasi dari rumah sakit atau dinas kesehatan setempat.
Seluruh jurusan spesialisasi dapat diajukan, namun beasiswa akan lebih banyak diberikan pada empat jurusan spesialis dasar kedokteran, yakni spesialis anak, spesialis radiologi, spesialis rehabilitasi medis, dan spesialis kebidanan dan kandungan.
Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron menyatakan, minimnya minat dokter untuk mengikuti program beasiswa pendidikan dokter spesialis diantaranya keengganan untuk ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia sesuai persyaratan yang diminta. Menurut Ghufron, kendala kurangnya minat menjadi dokter spesialis mulai dari produksi dokter spesialisnya yang lama karena pendidikannya yang lama sekali hingga enggan terikat kontrak setelah kelulusan.
"Mereka lebih suka pendidikan spesialis sistem mandiri namun dapat bekerja di rumah sakit swasta di kota besar setelah lulus dengan gaji yang besar dibanding bekerja di rumah sakit pemerintah di pelosok daerah," kata Ghufron saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (5/6).
Ghufron menuturkan, dari target merekrut enam ribu peserta didik untuk ditempa menjadi dokter sepesialis dan dokter gigi spesialis tahun ini, pihaknya baru berhasil menghasilkan sekitar separuhnya.
"Padahal, kita kurang sekitar tiga ribuan dokter spesialis yang mendesak sekali kebutuhannya," terangnya.
Kemenkes telah menjalankan program perekrutan dokter spesialis dan dokter gigi spesialis tersebut sejak 2008. Saat ini sudah ada 4.746 peserta yang sudah dibiayai pemerintah dan telah meluluskan 568 dokter pada 2012.
Selain itu, Ghufron menilai pemerintah daerah kurang sigap menginventarisasi kebutuhan dokter spesialis di daerahnya. Selain itu, ada ketimpangan jumlah dokter antara satu daerah dengan daerah lain karena perbedaan gaji yang diterima.
"Kita harus maklum karena memang tidak mudah untuk mendapatkan dokhter spesialis yang ditempatkan di daerah terpencil," terangnya.
Wamenkes berharap pemerintah baru yang segera terbentuk nanti dapat menyempurnakan regulasi perekrutan dan penyebaran dokter spesialis di seluruh daerah. "Kerjasama ini antara Kemenkes, Kemenpan, Kemendagri utnuk merencanakan sumber daya manusia di setiap daerah," pungkasnya.
Sementara itu Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan Musliar Kasim menuturkan soal biaya kuliah menjadi dokter di PTN. Dia menegaskan bahwa penerapan uang kuliah tunggal (UKT) membuat biaya menjadi dokter di kampus negeri menjadi terjangkau.
Dia menegaskan ketika sudah ada UKT maka tidak dibenarkan lagi ada biaya-biaya lainnya. Musliar menyebutkan tidak benar ada PTN yang menarik uang pangkal atau sejenisnya untuk mahasiswa saringan SNM PTN maupun SBM PTN.
Terkait untuk biaya mahasiswa non reguler atau melalui saringan mandiri, kampus masih diperbolehkan menarik biaya di luar UKT. Tetapi kuota mahasiswa yang di saring melalui seleksi mandiri, dibatasi maksimal hanya 20 persen dari kuota mahasiswa baru seluruhnya. Dengan cara ini universitas tidak bisa seenaknya mematok biaya kuliah. (dod)