Beda Putusan Hakim Ancam Kepercayaan Publik
jpnn.com - JAKARTA – Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki menyatakan bahwa perbedaan putusan hakim terhadap kasus yang relatif sama akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif di Indonesia. oleh karena itu, Suparman meminta agar lembaga peradilan melakukan reformasi sistem peradilan agar dapat menyelaaskan putusan hakim sesuai dakwaan.
Suparman juga menyebut bahwa perbedaan putusan antar hakim tersebut erupakan bentuk inkonsistensi putusan. “Di kejaksaan, konstruksi dakwaan tuntutan relatif tidak ada disparitas. Tapi banyak terdapat disparitas yang begitu tinggi antara satu pengadilan dengan pengadilan lain. Padahal kasusnya relatif sama,” kata Suparman saat dihubungi Jawa Pos (induk JPNN Group), Sabtu (7/12).
Terkait hal tersebut, lanjut Suparman, KY telah berdiskusi dengan Mahkamah Agung (MA) untuk memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Dia juga mengatakan, dalam diskusi dengan pihak MA tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan di Indonesia memang belum berjalan baik, tetapi telah ada pembenahan internal dan kelembagaan oleh MA.
Suparman menjelaskan bahwa pembenahan tersebut mencangkup pembenahan dalam penerapan sistem kamar yang akan meningkatkan kualitas dan konsistensi putusan. Saat ini, lanjut dia, MA juga sedang menyusun buku panduan sebagai pedoman para hakim untuk menghindari terjadinya disparitas putusan yang terlalu tinggi. “Benchbook ini juga dapat digunakan oleh para jaksa dan pengacara,” tambah Suparman.
Selain disparitas dan inkonsistensi putusan, Suparman juga mengemukakan empat hal lainnya yang menjadi masalah penegakan hukum di Indonesia, yaitu peraturan perundang-undangan, SDM hakim, budaya, serta sarana dan prasarana penunjang lainnya.
Dia juga menambahkan bahwa masalah lain yang tidak kalah gawatnya adalah adanya hakim yang terkesan memperlambat menyerahkan salinan putusan ke pihak-pihak yang bersengketa, khususnya kepada para jaksa penuntut umum (JPU). “Ini menyulitkan jaksa ketika akan melakukan kasasi, dengan tenggang waktu 14 hari untuk mengajukan memori kasasi,” ungkapnya.
Terhadap kasus tersebut, Suparman mengarahkan agar kasus keterlambatan menerima salinan putusan tersebut dilaporkan ke Ombudsman. Karena menurutnya, proses menunda salinan putusan termasuk mal-administrasi negara.
“Biarlah Ombudsman yang menegur pengadilan karena sudah melakukan mal-administrasi. Di luar negeri, sebuah institusi apabila ditegur Ombudsman maka reputasinya menurun,” pungkas dia. (dod)