Bekas Feri Cepat, Ditembak karena Boros Bahan Bakar
Hibah tersebut dilakukan lantaran feri kalah bersaing dengan pesawat yang kian lama kian murah. Lagi pula, biaya operasional kapal termasuk tinggi karena mesinnya memakai sistem water jet.
Tiap satu jam, dibutuhkan 18 ton solar untuk menggerakkan empat mesin. ’’Kapasitas maksimal BBM adalah 54 ton,’’ jelas prajurit yang mengawali karir militer tamtama kelasi dua di KRI Monginsidi pada 1989–2003 tersebut.
TNI-AL kala itu memang belum punya KCAP besar yang mampu mengangkut pasukan sampai 925 orang. Nah, KM Serayu merupakan paket hibah bersama empat kapal feri serupa senilai Rp 491 miliar.
Empat kapal cepat lain adalah KM Ambulu (sekarang KRI Karang Pilang-981), KM Mahakam (KRI Karang Tekok-982), KM Cisadane (KRI Karang Galang-984), dan KM Barito (KRI Unarang-985). Pengoperasian dua kapal terakhir diserahkan ke Armada RI Kawasan Barat.
Seluruh kapal itu dinamai Karang agar awak kapal punya spirit sekuat batu karang. Dan, Karang Banteng adalah nama gugusan karang di perbatasan Riau–Singapura. Harapannya, awak KRI Karang Banteng bisa kukuh menjaga kedaulatan perairan NKRI sampai wilayah terluar.
Namun, biaya pemeliharaan KRI Karang Banteng mahal. Mabes TNI-AL memandang bahwa kapal itu dinilai terlalu banyak minum bahan bakar. Mabes pun mengurangi beban operasional kapal-kapal berkecepatan maksimal 40 knot (74,08 kilometer per jam). Pilihannya, KRI Karang Banteng menjadi sasaran tembak untuk latihan gabungan.
Selama Romadi bertugas di KRI Karang Banteng sejak 2006, berbagai kegiatan dilaksanakan di atas kapal itu. Selain pemeliharaan rutin dan sea trial di seputaran Laut Jawa, kapal berbahan aluminium alloy tersebut dipercaya menjalankan misi sosial dan pendidikan.
’’Setiap Rabu pagi ada kegiatan kekeluargaan berupa pengajian. Kapal sering dikunjungi siswa PAUD, TK, dan pelajar SD,’’ tambah Romadi yang juga pernah bertugas di KRI Arun pada 2003–2005 itu.