Benarkah KPK Gunakan Teknik Interograsi Ala CIA?
jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi kaget mendengar kesaksian Niko Panji Tirtayasa, saksi kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dalam forum Pansus Angket KPK di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/7) lalu.
Niko mengaku diancam dan dibawa ke tempat penyekapan tertentu selama proses penyidikan. Kemudian dipaksa mengakui sesuatu dengan ancaman akan menyeret keluarganya ikut serta.
"Ketika dicermati lebih jauh, pernyataan Niko terkesan memaparkan para penyidik lembaga antirasuah telah menggunakan metode EITs (Enhanced Interrogation Techniques) yang pernah dipakai agen-agen CIA (Central Intelligence Agency) untuk mengorek keterangan orang-orang yang dituduh teroris di penjara Teluk Guantanamo Kuba dan Abu Ghraib Irak,” ujar Adhie di Jakarta, Selasa (1/8).
Menurut Adhie, EITs atau teknik interogasi yang disempurnakan memang efektif memaksa pesakitan mengatakan apa saja yang ingin mereka dengar. Buktinya, interogrator CIA berhasil memperoleh informasi dari para tahanan di dua penjara tersebut. Mereka berhasil memperoleh informasi penting mengenai keberadaan Osama bin Laden serta beberapa target yang akan disasar dari jaringan Al Qaeda.
Menurut Adhie, pada mulanya CIA membantah pemakaian teknik EITs. Namun kemudian setelah Senat AS membuat pansus dan membentuk panel independen yang terdiri dari militer, kesehatan, etika dan pakar hukum dan menghasilkan laporan lebih dari 6000 halaman, Direktur CIA John Brennan akhirnya mengakui ada penyiksaan keji dan brutal terhadap para tahanan.
“Makanya, sebelum terlalu jauh menyimpang, Pansus Angket KPK harus segera membentuk semacam panel independen guna menyelidiki lebih dalam perilaku penyidik KPK, baik terhadap para saksi maupun tersangka korupsi yang digarap,” ucap Adhie.
Dia mengemukakan pandangannya, karena Niko sebenarnya tak memiliki sangkut paut dengan kasus yang disidik. Namun dibuat skenario pengukuan demi menjerat orang-orang yang ditarget menjadi tersangka korupsi.
"Mudah-mudahan panel independen yang dibentuk bisa mengungkap apakah benar metode EITs yang dipakai. Kemudian, apakah penggunaan metode itu inisiatif oknum atau sudah mendapat otorisasi dari institusi," katanya.
Menurut Adhie, kalau inisiatif oknum maka harus diproses secara hukum. "Namun kalau sudah mendapat otorisasi, maka presiden perlu segera melarang praktik keji itu dilakukan. Karena melanggar HAM dan sangat tidak cocok diterapkan di negara dengan dasar Pancasila," pungkas Adhie. (gir/jpnn)