Berawal dari Keluhan Teman, Firman Ciptakan Batik Teyeng
jpnn.com, SURABAYA - Firman Asyhari sungguh kreatif. Teyeng (karat) diubahnya menjadi motif batik yang menarik. Batik teyeng yang diproduksinya itu sudah tersebar di pasar tekstil nasional.
Selama ini batik memang sering menjadi ikon daerah. Jogjakarta punya batik motif Sekar Jagat. Lalu, Magetan memiliki motif batik Sidomukti. Sogan menjadi ciri khas batik Solo dan masih banyak corak lainnya.
Lelaki yang mulai belajar membatik pada 2012 itu mencari desain yang menarik dan unik. Dia juga memiliki keinginan untuk keluar dari zona nyaman dalam pembuatan batik tanpa harus meninggalkan corak tradisional.
Ide pun muncul saat Firman mengadakan acara workshop batik di daerahnya. Kala itu, Ony, salah seorang anggota Klampis Ireng Batik, menceritakan susahnya menghilangkan noda teyeng pada kain. ''Cerita itu menginspirasi saya,'' ucap lelaki yang merintis batik teyeng pada 2013 tersebut. Teyeng yang menempel pada kain memang susah dihilangkan. Sebagian orang tidak menggunakan kain itu lagi. Firman berpikir sebaliknya. Dia menjadikan teyeng sebagai motif batik. ''Unik, menarik, dan beda dengan lainnya,'' ujarnya.
Firman lalu mewujudkan ide tersebut. Caranya relatif mudah. Dia menyiapkan bingkai kayu. Ukurannya sekitar 1,5 x 2 meter. Kayu tersebut bisa menampung air. Di dalamnya terdapat spons. ''Kotak ini untuk merendam kain,'' jelasnya.
Spons disiram air yang sudah dicampur garam dan ditaburi bubuk besi. Air garam berfungsi untuk mempercepat oksidasi (katalisator). Lalu, spons digunakan agar masih bisa ditembus udara dan kebasahan dapat dipertahankan. Sebab, proses oksidasi dibutuhkan.
Selanjutnya, spons diinjak agar air meresap ke permukaan. Kain yang akan dibatik dimasukkan ke kotak tersebut. Proses belum selesai. Firman meletakkan kawat dan besi di kain tersebut. Lalu, di atasnya diberi kain lagi. ''Bisa beberapa kain untuk membuat batik teyeng,'' katanya.
Kain tersebut direndam. Firman menjelaskan, spons di bawah kain itu juga berfungsi sebagai penahan kain agar tidak tenggelam. Kalau kain tenggelam, hasilnya jelek. Selain itu, bagian atas diberi tripleks sebagai pemberat.
Peneyengan kain membutuhkan waktu 24 jam. Apabila hasilnya tidak rata, prosesnya bisa diulang. Namun, rata-rata peneyengan membutuhkan waktu sekitar dua hari. Setelah itu, kain di dalam bingkai kotak tersebut diangkat. Motif karat atau teyeng pada batik pun mulai terlihat. Ada yang berupa bulatan noda, ada pula yang berupa garis teyeng berwarna kuning.
Kain tersebut lalu dijemur. Setelah kering, motif karat atau teyeng itu dicanting. ''Proses pencantingan sama dengan batik biasa,'' katanya. Tak jarang, ada motif tambahan di luar teyeng tersebut. Semua bergantung selera dan menyesuaikan coretan teyeng pada kain tersebut.
Pola teyeng memang bukan motif utama. Sebab, cara pemberian pola teyeng tidak menggunakan prinsip pembatikan, yakni pencantingan dan malam. Karena itu, setelah kain kering, tetap ada tahap pencantingan dan pewarnaan. Batik teyeng juga memberi kesan lawas atau kuno dan lebih nyeni.
Firman juga memadukan idenya itu dengan batik yang sudah jadi. Tak jarang, lelaki yang tinggal di Wisma Tengger, Surabaya, tersebut membeli kain batik dengan motif tertentu. Kain itulah yang kemudian diteyengkan. Perpaduan batik teyeng dan batik asli kain tersebut menghasilkan motif yang lebih indah.
Saat ini Firman mulai menuai hasil. Produknya dikenal di pasaran. Permintaan dari berbagai daerah juga banyak. Salah satunya Palembang. Bahkan, ada produk yang dibawa ke luar negeri. Firman juga memasarkan produk tersebut secara online.
Selain memproduksi, Firman memberikan pelatihan di berbagai workshop. Ide batik teyeng yang mulai dia wujudkan pada 2013 itu semakin populer. Kiprah Firman juga menginspirasi pelaku batik lain di Indonesia. Ide bisa muncul dari mana saja. Termasuk dari noda yang selama ini meresahkan perajin batik. (thoriq/c7/ano)