BI Dukung BBM Naik
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal untuk menahan tingkat suku bunga acuan (BI rate) apabila harga BBM naik. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, naiknya harga premium memang membawa konsekuensi tingginya inflasi. Tetapi, pihaknya optimistis, dengan bauran kebijakan moneter dan fiskal, inflasi tetap terkendali.
"Sejak 2013 (untuk antisipasi inflasi) kami sudah banyak mengeluarkan kebijakan seperti menaikkan BI rate. Dan saat ini saya rasa yang harus diperhatikan riil dan fiskal. Karena itu, kami akan lihat datanya," ujar Agus, Jumat (29/8).
Dorongan kepada pemerintahan baru untuk mengurangi subsidi energi memang terus bergulir. Salah satunya datang dari BI yang meminta Jokowi dan tim transisinya mempertimbangkan secara serius kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Otoritas moneter tersebut menjamin laju inflasi atau kenaikan harga barang masih tetap rendah dan terkendali meskipun harga BBM naik.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara sebelumnya mengatakan, pengurangan subsidi energi sangat krusial mengingat beban importasi terbesar adalah impor BBM. Besarnya impor memicu kinerja neraca transaksi berjalan Indonesia defisit berkepanjangan. Dengan demikian, apabila berhasil mengurangi angka subsidi energi, pemerintah baru diproyeksi secara tidak langsung dapat menekan impor BBM.
"Pemerintah baru dihadapkan pada kondisi fiskal yang kurang menguntungkan. Supaya fiskal lebih fleksibel, caranya melalui pengurangan subsidi energi. Apalagi, kami juga menilai subsidi energi kurang tepat sasaran," ujarnya.
Menteri Keuangan Chatib Basri juga memastikan kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun depan bisa menekan defisit anggaran dari yang ditetapkan dalam RAPBN 2015 sebesar 2,32 persen terhadap PDB. "Jika pemerintahan baru memutuskan pada 2015 harga BBM naik, defisit 2,32 persen terhadap PDB bisa menjadi 1,32 persen," ujarnya.
Chatib mengatakan, kalkulasi tersebut terjadi apabila kenaikan harga BBM bersubsidi ditetapkan hingga Rp 2 ribu per liter yang dapat menghemat anggaran hingga Rp 96 triliun atau hampir mendekati 1 persen dari PDB. (gal/c10/kim)