Buruh Migran Kurang Dilindungi
jpnn.com - Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Risma Umar pada JPNN di Jakarta, Jumat (19/12) mengatakan, saat ini tak kurang dari enam juta orang jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) bekerja di 27 negara penempatan, dan sekitar 90 persen diantaranya adalah perempuan.
Mereka kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), disamping juga ada yang bekerja sebagai buruh perkebunan dan manufaktur.
Negara Asia Pasifik dan Timur Tengah hingga saat ini masih menjadi negara tujuan yang paling banyak diminati oleh para TKI/TKW. Terbukti, angka di atas perkiraan akan terus bertambah seiring dengan terpuruknya situasi ekonomi di dalam negeri.
Dijelaskan, berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang; 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan 'ekspor' BMI dari 700.000 orang menjadi 1 juta orang per tahun hingga 2009. Begitu pula terhadap perolehan devisa, juga ditargetkan meningkat dari sekitar Rp 35 triliun menjadi Rp 186 triliun pada tahun 2009.
Tapi ironisnya, target peningkatan 'ekspor' BMI ini sangat bertolak belakang dengan perbaikan sistem layanan pengiriman, penempatan dan perlindungan TKI oleh negara. Meskipun kegiatan pengiriman BMI ini telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (PPTKLN). Namun, peraturan tersebut lebih banyak mengatur soal aspek penempatan ketimbang peraturan yang dapat menjamin perlindungan terhadap BMI. ''Jadi, jangan heran kalau BMI menjadi rentan terhadap eksploitasi, penipuan, kekerasan, pelecehan seksual, trafficking hingga HIV/AIDS,'' katanya.
Hal senada juga diakui aktivis LBH Buruh Migran-IWORK Yuni Asriyanti. Menurut dia, kasus-kasus pelanggaran HAM memang rentan dialami BMI, mulai dari proses perekrutan, masa bekerja hingga masa kepulangan. ''Keberadaan Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) di Bandara Soekarno Hatta juga tidak dapat menjawab persoalan,'' katanya.
Bahkan, tak mampu meminimalisir adanya praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oknum terhadap BMI. Malah, yang terjadi justru meningkatkan diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi terhadap BMI yang hendak pulang ke kampung halaman.
BMI ini jelas dia, memang terus-menerus menjadi sasaran empuk premanisme dan pungutan liar yang dilakukan secara berantai dari hulu sampai hilir, dan tidak saja melibatkan calo BMI dan agen BMI, tapi juga aparat.(sid/JPNN)