DPD Tuntut Hak Keuangan Sama DPR
JAKARTA – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menuntut agar hak protokoler dan keuangannya disamakan dengan DPR. DPD meminta agar DPR bersedia mengakomodasi tuntutan tentang hak ptotokoler dan keuangan itu dalam pembahasan revisi UU Susunan dan Keudukan DPR, DPD dan DPRD. Dalam surat Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita ke Ketua DPR Agung Laksono baru-baru ini, DPD meminta agar DPR mau merealisasikan berbagai hak pimpinan dan anggota DPD. "Terutama menyangkut hak protokoler dan keuangan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang," tulis Ginandjar dalam suratnya.
Sebenarnya, inti surat DPD ke DPR adalah sikap keberatan lembana tingi Negara itu karena tidak diajak membahas revisi UU Suduk yang juga mengatur DPD. Namun dalam suratnya, Ginandjar juga menyelipkan tentang permintaan agar DPR memperhatikan hak protokoler dan keuangan DPD. Untuk itu, DPD juga memndesak agar DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/ Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Lantas mengapa DPD menuntut perlakuan yang sama? Ginandjar dalam suratnya beralasan, berdasarkan pengalaman di lapangan fungsi kesekretariatan DPD dalam memfasilitasi persidangan, penyusunan naskah RUU (legal drafting) dan finalisasi hasil-hasil UU sangat tergantung kepada dukungan fasilitas yang telah dijamin oleh undang-undang.
Hanya saja pada prakteknya, justru telah terjadi pereduksian yang sangat signifikan terhadap DPD dengan mengabaikan ketentuan Pasal 22D UUD 1945, bahwa dalam setiap pembahasan UU perlu mendapat pendapat atau pertimbangan DPD. Menurut informasi dari Sekretariat Jendral DPD, surat dari pimpinan DPD ke pimpinan DPR itu diserahkan langsung oleh wakil ketua DPD RI Laode Ida kepada Agung Laksono yang saat ini tengah mengikuti Sidang International Parliament Union di Jenewa, Swiss.
Terkait permintaan DPD terutama untuk ikut membahas RUU Susduk, Ketua Pansus RUU Susduk, Gandjar Pranowo, mengatakan bahwa keinginan DPD itu jika disetujui maka hal itu bertentangan dengan konstitusi. "Dalam konstitusi jelas-jelas tertera bahwa pembuat UU itu adalah DPR bersama pemerintah dan tidak ada sama sekali melibatkan DPD. Jadi jika kita kabulkan tentunya kita akan bertindak inskonstitusioal, karena hal itu jelas-jelas melanggar konstitusi, karena yang boleh membuat UU itu kan DPR bersama pemerintah," tambahnya.
Menurutnya lagi, pihak DPD sendiri sebenarnya telah memahami masalah ini. Hanya saja, sepertinya DPR tidak mau menerima kondisi yang ada. "Kita sudah tawarkan kita buat saja sebuah komisi bersama dimana DPR dan DPD duduk bersama untuk membahas dan menyepakati apa-apa yang mereka inginkan. Baru dari sana bahannya dibahas DPR dan pemerintah, namun mereka tidak mau. Yah gak bisa orang melanggar konstitusi kok," tandasnya.(ara/Fas)