Dradjad Desak Pemerintah Beber Biaya untuk Jadi ATT DK PBB
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H Wibowo menilai masuknya Indonesia sebagai anggota tidak tetap (ATT) Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah menyisakan pertanyaan. Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu diklarifikasi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) soal masuknya Indonesia ke dalam salah satu badan utama PBB itu.
“Pertama, mengapa Indonesia ngotot menjadi ATT DK PBB untuk periode 2019-2020 sampai-sampai harus voting melawan Maladewa. Padahal Maladewa belum pernah sekalipun menjadi ATT DK PBB,” ujar Dradjad melalui pesan singkat, Minggu (10/6).
Menurutnya, merujuk pada unggah-ungguh dalam pergaulan internasional maka semestinya Indonesia memberi kesempatan kepada negara yang belum pernah menjadi ATT DK PBB. Sedangkan Indonesia sudah berkali-kali menjadi ATT DK PBB untuk periode 1973-1974, 1995-1996 dan 2007-2008.
Selain itu, Dradjad juga mempertanyakan alasan Indonesia ingin menjadi ATT DK PBB untuk periode 1 Januari 2019 hingga 20 Desember 2020.
“Ketiga, dan ini sangat penting, berapa anggaran APBN yang dipakai untuk memenangi persaingan melawan Maladewa? Pos anggaran apa saja yang dipakai?” ujar mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu.
Dradjad lantas mencontohkan Australia ketika menjadi ATT DK PBB pada 2012 menggelontorkan dana hingga USD 25 juta atau sekitar Rp 350 miliar. Sedangkan Swedia menggelontorkan dana hingga USD 4 juta untuk menjadi ATT DK PBB pada 2016.
“Itu untuk biaya staf, diplomat, utusan khusus, dan perjamuan. Ini belum termasuk biaya lobi yang lebih mahal,” tegasnya.
Menurut Dradjad, rakyat berhak tahu alasan pemerintah lebih memprioritaskan kampanye menjadi DK PBB dibanding program lainnya. “Urgensinya apa? BPK (Badan Pemeriksa Keuangan, red) juga perlu mengaudit, apakah biaya lobi yang digunakan itu sah,” tutur mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) itu.(ara/jpnn)