Dry Port Jadi Tren Internasional
JAKARTA - Ketua Forum Transportasi Laut Masyarakat Transportasi Indonesia (FTL-MTI) Ajiph R Anwar memuji langkah pemerintah menandatangani perjanjian antarpemerintahan terkait dry ports (pelabuhan darat) dalam ajang Komisi Sosial dan Ekonomi PBB untuk Asia-Pasifik di Bangkok. Menurut Ajiph, keputusan itu sebagai langkah maju.
Dikatakan, pemerintah memang sudah seharusnya mendukung penuh konsep pelabuhan darat alias dry port seperti Cikarang Dry Port. Diharapkan pasca penandatanganan itu pemerintah makin gesit membenahi infrastruktur penunjang dry port.
"Konsep dry port sudah jadi tren internasional. Indonesia sudah agak terlambat. Di Eropa sudah diberlakukan lama dengan konsep logistik center," jelas Ajiph dalam rilis yang diterima JPNN, Rabu (20/11).
Menurutnya, dengan adanya perjanjian itu, maka pemerintah harus terus mendorong mengembangkan pelabuhan darat karena selama ini pemerintah belum mendukung secara maksimal. Padahal, konsep dry port sangat tepat untuk mendukung daerah-daerah industri baru yang terus berkembang. Pelabuhan darat, seperti di negara lain, mendekati kawasan industri sehingga memudahkan pengusaha.
"Diharapkan penandatanganan kerja sama dengan negara lain itu bisa mendorong pemerintah mengembangkan dry port," tandasnya.
Dia juga mengingatkan, lantaran diteken bersama negara lain, maka pemerintah harus menunjukkan keseriusan dengan menyelesaikan sejumlah hambatan-hambatan di level teknis. Mulai dari birokrasi berbelit, bea cukai yang belum terintegrasi, dan dukungan sarana transportasi pendukung yang terintegrasi.
"Pimpinan negeri ini harus komitmen mendukung dry port. Masalah teknis selalu jadi hambatan dan ini harus dituntaskan. Misal kereta api tidak boleh masuk pelabuhan lantaran tidak bisa ketika ditantang Pelindo untuk mengangkut peti kemas maksimal 20 persen. Prinsipnya pasca perjanjian dukungan dry port, harus ada deregulasi. Konsep dry port sudah teruji dan harus didukung. Menteri BUMN atau Menteri Perekonomian harus mengkoordinasikan agar dry port lebih maksimal, " tandasnya.
Ia menyarankan, pemerintah juga memberi insentif khusus pada berbagai pihak yang mendukung infraststrukur penunjang Cikarang Dry Port. Soalnya, tak bisa dipungkiri, pengembangan infrastruktur darat seperti jalan atau jalur kereta memerlukan investasi yang besar. Kemudian, pada masyarakat dijelaskan, manfaat besar perbaikan infrastrktur itu dalam jangka panjang.
"Kepada masyarakat dijelaskan pengalihan fungsi lahan itu untuk mengefiesienkan perekonomian, dijelaskan manfaat besar dry port, ini soal komunikasi pemerintah saja," ujar dia.
Menurut dia, jalur kereta api nanti masuk ke dry port, tidak langsung ke pabrik. Nah, dari situ, kemudian berbagai barang itu didistribusikan ke pabrik-pabrik melalui mobil truk.
"Harus didorong, mengalihkan beban angkutan jalan 90 persen lebih itu ke kereta api, kemudian juga dibuat jalur lain, misal sungai untuk kapal-kapal tongkang, sehingga semua terintegrasi mendukung dry port," ucapnya.
Hal itu sudah diberlakukan di pelabuhan Rotterdam di Belanda. Sehingga industrinya efisien dan pengusaha tidak menanggung beban transportasi yang besar.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah Natsir Mansyur menilai, saat ini konektivitas ekonomi antar daerah sudah sangat mendesak demi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu pengembangan pelabuhan, baik berbasis maritim maupaun pelabuhan berbasis darat seperti Cikarang Dry Port, harus dikembangkan dan dimaksimalkan.
Ia menuturkan, negara-negara di Asean saat ini mayoritas memiliki pelabuhan darat karena basis wilayah mereka daratan. Maka, hampir mayoritas negara di Asean, bisa terhubung dengan jalur darat. Adapun Indonesia, negara yang berbasis maritim.
"Dari Cikarang ke Tanjung Priok butuh dukungan infrastuktur. Apakah itu harus swasta atau pemerintah, misal pelebaran jalan atau jalur kereta apinya, itu harus diselesaikan," ujar dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono menandatangani Perjanjian Antarpemerintahan terkait dry ports (pelabuhan darat) dalam ajang Komisi Sosial dan Ekonomi PBB untuk Asia-Pasifik di Bangkok, 4-8 November 2013.
Tujuan dari perjanjian tersebut antara lain untuk mempromosikan pengakuan antar dry ports, memperbaiki pelayanan operasional efisien melalui pendekatan harmonisasi untuk mengembangkan dan mengoperasikan dry ports, serta mempermudah proses kepabeanan.
Terkait dengan penandatanganan Intergovermental Agreement on Dry Ports, 12 Negara direncanakan untuk menandatangani perjanjian tersebut, yaitu: Armenia, China, Indonesia, Kamboja, Korea Selatan, Laos, Mongolia, Myanmar, Nepal, Rusia, Tajikistan, dan Vietnam.(fuz/jpnn)