Dwi Nugroho, Spesialis Pembuat Alat Musik Nomor Satu dari Sukoharjo
Musik Laskar Pelangi pun Pakai Gitar Buatan IdudILMU menciptakan alat musik dipelajari Dwi Nugroho sejak kecil. Keahlian turun-temurun itu ternyata berkembang hingga alat musik Dwi Nugroho diakui para musisi lokal maupun mancanegara.
------------
TRI MUJOKO BAYUAJI, Solo
------------
Dwi Nugroho tinggal di rumah barunya di kawasan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Rumah yang sekaligus workshop Sentana Art, usaha pembuatan alat musik, itu tak jauh dari Pasar Grogol. Idud -begitu dia biasa dipanggil- sangat bangga dengan rumah hasil jerih payahnya sebagai perajin alat musik tersebut.
Selain di rumah baru, Idud mempunyai bengkel di rumah keluarganya di kawasan Danukusuman serta di Benowo dan Kentingan, ketiganya di Solo. "Dulu saya buat alat musik di rumah keluarga, tidak jauh dari sini," ujar Idud saat ditemui Jawa Pos Rabu lalu (12/2).
Di workshop barunya, tampak beberapa alat musik yang belum jadi benar. Di antaranya, gitar pesanan pemusik Titi Rajo Bintang dan Totok Tewel. Ada juga beberapa alat perkusi yang dipesan untuk Ubud Jazz Festival 2014 serta sebuah selo dan dua buah kontrabas yang dipesan musisi lokal.
"Sebagian besar alat musik buatan saya sedang ikut pameran. Baru Jumat nanti kembali," tuturnya.
Keahlian membuat aneka alat musik diasah Idud sejak kecil. Bahkan, saat bayi dia sudah sering disandingkan dengan alat-alat musik. Maklum, kakeknya, Hardjo Sentono, sudah merintis pembuatan alat-alat musik ketika Idud belum ada di dunia.
"Dulu kakek belum memberi merek atas karyanya, masih sebatas menerima pesanan dari orang-orang," kata Idud yang kini menjadi generasi ketiga penerus usaha pembuatan alat-alat musik tersebut.
Keahlian Idud berkembang pesat saat menimba ilmu di D-3 Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang melebur menjadi Institut Seni Indonesia Surakarta). Dia masuk pada 1997, mengambil jurusan seni rupa. Setelah lulus D-3, dia melanjutkan strata satu alias sarjana hingga lulus pada 2003.
"Saya kuliah di seni rupa, namun pergaulan saya tetap di komunitas musik. Di kampus seni itu biasa," ujarnya.
Peruntungan Idud sebagai perajin alat musik mulai terlihat ketika mendapat pesanan dari Rahayu Supanggah, komponis musik Jawa Indonesia. Rahayu mengajak Idud berkolaborasi dalam konser Megalitikum Kuantum di Balai Sarbini, Jakarta, pada 2004.
"Saya diminta membuatkan alat musik untuk konser itu. Di antaranya, siter dan beberapa alat perkusi untuk konser tersebut," jelas pria berambut ikal itu.
Konser tersebut mendapat perhatian besar dari pencinta musik kontemporer. Bahkan, karena dianggap sukses, konser Megalitikum Kuantum digelar lagi pada 2005 di Bali. Dari situlah alat musik Idud mulai dikenal para pemusik.
Sebelum menggarap alat musik untuk konser Megalitikum, Idud belum sempat memikirkan merek untuk karyanya. Mereknya masih berdasar pesanan orang. Baru setelah konser Rahayu Supanggah itu, dia memberi merek karyanya dengan Sentana Art.
"Sentana itu nama belakang kakek saya. Bukan Santana, gitaris dari Amerika Latin itu lho," papar dia.
Nama Idud dan merek alat musiknya cepat terkenal. Sebab, produknya "sempurna". Tak ayal, pesanan pun datang silih berganti. Setelah konser akbar itu, dia diminta membuatkan peralatan musik untuk keperluan soundtrack film Laskar Pelangi yang disutradari Riri Reza.
Saat itu Idud diajak berkolaborasi dengan mantan drumer Dewa 19 Wong Aksan dan Titi Rajo Bintang (dulu Titi Sjuman, Red). Kolaborasi itu juga melibatkan Peni Candrarini, komposer dan penyanyi yang juga istri Idud.
Tak hanya di Laskar Pelangi, Idud juga terlibat dalam film Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Gitar yang dipakai Anto Hoed, suami Melly Goeslaw, dalam soundtrack KCB merupakan karya Idud. Nama Idud Sentana Art muncul dalam credit title dua film sukses itu.
Tampil di konser bertaraf internasional juga sering diikuti Idud. Bersama Peni, alat musik Idud tampil di pentas Ontosoroh. Pentas Ontosoroh itu digagas Peni bersama Ade Suharto yang kini dikontrak eksklusif tiga tahun untuk menampilkan performanya di Australia.
Alat musik Idud juga dibawa Peni saat tampil di Los Angeles Electric 8 pada 2011. Kontrabas buatan Idud juga dipakai musisi internasional dalam ajang tahunan Ubud Jazz Festival.
Menurut Idud, semua alat musik yang dibuatnya murni berdasar konsep. Konsep itu merupakan hasil diskusinya dengan musisi yang memesan. Salah satunya soal ergonomi atau bentuk. Meski terlihat sama, secara ergonomi, alat musik Idud berbeda antara satu dan yang lain.
"Misalnya, gitar Mas Dewa Budjana (gitaris Gigi, Red) berbeda dengan gitarnya Mas Djaduk (Djaduk Ferianto, Red)," tutur dia.
Konsep kedua adalah organologi. Konsep itu memengaruhi suara akustik dari alat musik yang diinginkan musisi. Drum pesanan musisi Gilang Ramadhan adalah salah satu permintaan yang khusus. Gilang meminta Idud membuat drum namun dengan nuansa rhythm yang kental ciptaan Gilang sendiri.
"Saya sendiri tidak menguasai banyak alat musik. Karena itulah, saat berkarya, saya harus berkolaborasi dengan player-nya," ucap Idud.
Meski cukup aktif mendapat pesanan, alat musik Idud tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat. Idud mengaku, bisa saja alat musik pesanan itu selesai dalam seminggu. Namun, bisa juga baru selesai dalam waktu bulanan atau bahkan tahunan.
"Untuk finishing drum-nya Mas Gilang saja, saya butuh satu tahun. Itu hanya finishing," kata Idud.
Pembuatan alat musik itu lama, ujar Idud, karena konsep yang dimasukkan di dalamnya. Menurut Idud, hasil karya alat musik bukanlah yang utama. Sebagai pembuat alat musik, dia harus lebih banyak berkomunikasi dengan musisi pemesan. Sebab, banyak ide dan pemikiran baru yang bisa dimasukkan ke alat musik yang dipesan. "Ide itu juga penting untuk pembuatan karya selanjutnya," ujarnya.
Ketika ditanya berapa harga alat musik karyanya, Idud hanya tertawa. Dia mengaku tidak pernah mematok harga. Bahkan, Idud baru tahu harga karyanya setelah dibayar pemesannya.
"Karena saya tidak pernah memberi harga pada alat musik saya, jika ada yang ingin gitar seperti punya Sawung Jabo, ya harganya sesuai yang diberi oleh Mas Sawung Jabo," ujarnya.
Namun, untuk alat musik standar seperti biola, Idud memberi harga mulai Rp 2,5 juta hingga di atas Rp 10 juta.
Bahan alat musik yang dipakainya juga sesuai dengan pesanan. Dia bisa menggunakan kayu lokal maupun kayu impor sesuai dengan permintaan pemesan. "Sekarang banyak yang memesan menggunakan kayu lokal," jelasnya.
Dalam sejumlah forum, Idud tidak pernah pelit untuk membagi pengalaman dan ilmunya. Dalam hal ini, Idud tidak pernah merasa bahwa nanti bakal mendapat saingan. Menurut dia, setiap pembuat alat musik memiliki pasarnya dengan caranya tersendiri.
"Misalnya untuk alat elektrik. Bagi saya, alat elektrik jauh lebih mudah dibuat. Namun, saya lebih senang yang akustik," tandasnya. (*/c10/ari)