Electricity Connect 2024: Harapan Generasi Muda untuk Kemajuan Kendaraan Listrik Indonesia
“Harus ada lebih banyak fasilitas pengisian daya yang tersebar luas untuk memudahkan pengguna.”
Sutomo, mahasiswa Universitas Terbuka, juga menyampaikan pandangannya terkait kendala yang dihadapi Indonesia dalam transisi ke kendaraan listrik.
Setiap langkah menuju keberlanjutan pasti memiliki sisi negatifnya. Misalnya, dalam konteks kendaraan listrik, kita perlu menambang nikel untuk memproduksi baterainya, yang tentunya berdampak pada lingkungan. Meskipun kita memiliki pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau tenaga surya (PLTS), ketergantungan kita terhadap batu bara masih cukup tinggi,” ungkap Sutomo.
Dia juga menyoroti masalah pengelolaan limbah baterai. “Baterai kendaraan listrik perlu diganti setiap lima tahun. Meskipun ini terlihat mudah, kita harus mempertimbangkan di mana limbah baterai tersebut akan dibuang, karena saat ini pun pengelolaan limbah baterai yang ada belum sepenuhnya optimal.”
Saat ditanya apakah Indonesia sudah siap melakukan transisi penuh ke kendaraan listrik, Sutomo menilai kesiapan ini masih dalam tahap awal.
“Sudah mulai, tapi belum sepenuhnya siap. Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) belum merata, bahkan di Jabodetabek, padahal kebanyakan pemilik kendaraan listrik berada di wilayah ini. Idealnya, SPKLU harus sebanyak pom bensin agar Indonesia benar-benar siap bertransisi ke EV,” jelasnya.
Arsya mengapresiasi pandangan kritis generasi muda seperti Sechan dan Sutomo, dan berharap Electricity Connect 2024 dapat menjadi ruang untuk diskusi dan kolaborasi lebih lanjut.
“Kami ingin menginspirasi lebih banyak anak muda untuk terlibat dalam transformasi energi yang berkelanjutan. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan perubahan yang lebih positif bagi lingkungan,” tutur Arsya. (flo/jpnn)