Fadli Zon: Perppu Ormas Bentuk Kediktatoran Gaya Baru
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menilai, Perppu Tentang Perubahan Atas UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, secara substantif mengarah pada model kediktatoran gaya baru.
"Semangat tersebut dapat dilihat dari beberapa hal. Misalnya saja, Perppu tersebut menghapuskan pasal 68 UU No.17 Tahun 2013 yang mengatur ketentuan pembubaran ormas melalui mekanisme lembaga peradilan. Begitu pun pasal 65, yang mewajibkan pemerintah untuk meminta pertimbangan hukum dari MA dalam hal penjatuhan sanksi terhadap ormas, juga dihapuskan," kata Fadli, Wakil Ketua DPR yang membidangi politik, hukum, dan keamanan.
Menurut dia, spirit persuasif dalam memberikan peringatan terhadap ormas, sebagaimana sebelumnya diatur dalam pasal 60, juga sudah ditiadakan. "Perppu tersebut juga tidak lagi mengatur peringatan berjenjang terhadap ormas yang dinilai melakukan pelanggaran. Di mana hal ini sebelumnya diatur dalam pasal 62 UU No.17 tahun 2013," kata pria yang juga Ketua Umum DPN HKTI ini.
Fadli mengatakan, kehadiran perppu tersebut selain memberikan kewenangan yang semakin tanpa batas kepada pemerintah, juga tidak lagi memiliki semangat untuk melakukan pembinaan terhadap ormas.
"Ini kemunduran total dalam demokrasi di Indonesia. Saya juga mempertanyakan ihwal kegentingan dalam perppu ini. Jika merujuk pada konstitusi, sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan UU No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan perppu, makan perppu dikeluarkan dalam suatu kondisi kegentingan yang memaksa. Pertanyaannya sekarang, adakah kondisi kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah membutuhkan perppu?" ujarnya.
Kegentingan tersebut, kata Fadli, harus didefinisikan secara objektif. Tidak bisa parsial.
"Saya memandang adanya perppu ini akan memunculkan keresahan baru di tengah masyarakat. Perppu ini syarat ancaman terhadap kebebasan berserikat yang sudah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 dan 28E. Perppu ini mengandung semangat yang sangat jauh dari semangat demokrasi," tuturnya.
Fadli berpendapat bahwa Perppu tersebut berpotensi menjadi alat kesewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang kritis terhadap pemerintah, tanpa harus melalui mekanisme persidangan lembaga peradilan. Dan hal itu berbahaya bagi jaminan keberlangsungan kebebasan berserikat di Indonesia.
"Menurut UU MD3 pasal 71, DPR berwenang untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap Perppu yang diajukan pemerintah. Artinya, jika berpotensi mengekang kebebasan berserikat dan merugikan masyarakat, DPR memiliki dasar untuk menolak Perpu tersebut. Menurut saya, perppu diktator ini harus ditolak," pungkas Fadli. (adv/jpnn)