Fisika Nusantara
Oleh: Dahlan IskanKemudian membaca tulisan dari Assoc Prof Sulfikar Amir, sosiolog bencana dari Nanyang Technological University yang berjudul Kewarasan Ilmiah dan Kedaruratan, saya jadi tergerak untuk menceritakan apa yang pernah terjadi di bidang yang saya tekuni, bedah jantung, yang saya pelajari sejak tahun 1969 di Jerman dan kemudian merintis pengembangannya di Surabaya.
Upaya menanggulangi pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia ini memang menantang banyak pihak untuk mencari cara pengobatannya maupun cara mencegahnya, termasuk mencari berbagai obat baru atau meracik obat-obat yang ada, dan upaya membuat vaksin untuk mencegah dengan cara membuat imunitas tubuh kita.
Dalam ”kedaruratan” yang terjadi sekarang ini, maka sejumlah “terobosan” disajikan oleh banyak ilmuwan kesehatan (kedokteran, farmasi, dan lain-lain) di seluruh dunia dengan bayangan ”darurat medis” untuk segera menghasilkan obat dan vaksin yang cespleng tadi.
Kembali pada bidang keahlian saya, bedah jantung, maka saya selalu menceritakan di kuliah saya maupun kepada para calon calon ahli bedah jantung dan mahasiswa kedokteran, juga kepada para awam di ceramah-ceramah tentang bedah jantung, kejadian di tahun 1896 (!!!) di mana seorang professor Jerman, Rehn (Ludwig Rehn, 1849-1930) pada waktu itu sebagai ahli bedah umum (belum ada spesialisme waktu itu) menolong (menyelamatkan nyawa) seorang yang ditusuk dengan pisau di dadanya di suatu Taman Kota di Frankfurt (saya juga tidak dapat membayangkan suasana waktu itu bagaimana).
Korban dibawa ke IGD Rumah Sakit di mana Prof Rehn lagi jaga, dan dengan ”bondo nekatnya” (ya benar, demikian pengakuan beliau di publikasinya); …. ”dengan perasaan takut bahwa pasien tersebut tidak dapat diselamatkan dan mati”, tanpa ragu Rehn menjahit otot jantung yang terluka pisau tersebut dan berhasil menghentikan perdarahan dan menyelamatkan nyawa pasien itu (pasien hidup).
Prof Rehn kemudian memublikasikannya di Konggres Ilmu Bedah Jerman ke 26 di Berlin tahun 1897, yang (pada waktu itu) Rehn ”dicerca” oleh seniornya, Prof Theodore Billroth, yang waktu itu adalah tokoh sentral ahli bedah Jerman (juga ahli bedah umum) tapi waktu itu memang ilmu bedah didominasi oleh Bedah Perut (Bedah Digestiv istilah sekarang). Ia mengatakan bahwa ”ahli bedah yang berani menjahit jantung akan kehilangan respek dan wibawanya dari para sejawatnya”…
Waduh, saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Prof Rehn pada waktu itu (untung belum ada TV, radio, HP, medsos, WA, Facebook, Twitter, dan sebagainya yang bisa memberitakan ”aib” seorang professor bedah karena menjahit Jantung manusia (yang pada waktu itu, jantung adalah organ yang ”tidak mungkin” disentuh oleh ahli bedah, apalagi menjahitnya).
Jadi, perbuatan Rehn menjahit jantung dianggap ”aib” bagi seorang ahli bedah. Tapi karena berita itu terbatas pada komunitas dokter (mungkin hanya ahli bedah saja) , ”aib” Rehn tersebut justru kemudian menjadi jalan ”membuka mata” para ahli bedah di seluruh dunia, bahwa ahli bedah dapat menjahit jantung yang terluka. Sekarang, menjahit jantung bukan masalah lagi, seperti kemudian juga bagi seorang ahli bedah, sama mudahnya seperti menjahit organ tubuh lain di masing masing spesialisme ilmu bedah.