Foto Pengungsi Cium Anak ini Diganjar Pulitzer
jpnn.com - NEW YORK – Penghargaan Pulitzer bagi fotografer yang menghasilkan karya hebat kembali digelar. Kali ini, perjuangan para pengungsi Syria menuju Benua Biru yang terekam dalam lensa adalah yang terbaik.
The New York Times dan Reuters berbagi penghargaan Pulitzer untuk kategori breaking news photography award. Dua media itu menang berkat foto-foto krisis pengungsi di Eropa yang telah mereka abadikan. Pengumuman para pemenang Pulitzer ke-100 tersebut dilakukan di Universitas Colombia, New York, Senin (18/4).
Fotografer The New York Times, yaitu Maucio Lima, Sergey Ponomarev, Tyler Hicks, dan Daniel Etter, dinilai mampu menangkap tekad para pengungsi dan perjuangan mereka menuju ke Eropa. Sementara itu, setiap lembar foto milik Reuters tentang pengungsi dari Timur Tengah tersebut dianggap memiliki suara tersendiri yang merekam perjalanan ratusan mil yang mereka tempuh melintasi perbatasan negara-negara Eropa.
Foto-foto para pengungsi itu memang mengiris hati. Salah satu contoh, foto pengungsi Syria yang mencium putrinya kala berjalan di bawah hujan menuju perbatasan Idomeni yang berbatasan dengan Macedonia. Foto tersebut diambil oleh Yannis Behrakis dari Reuters pada 10 September tahun lalu. Lantas, Sergey Ponomarev mengabadikan momen saat para pengungsi tiba dangan perahu di Desa Skala, Lesbos, Yunani, pada November tahun lalu.
''Kami menunjukkan pada dunia apa yang sedang terjadi dan dunia peduli akan hal tersebut. Itu menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan masih ada. Kami membuat suara orang-orang yang tidak beruntung ini didengar. Kini, dengan mendapatkan Pulitzer, kami merasa pekerjaan kami diakui secara profesional,'' ujar Behrakis.
Sementara itu, kantor berita Associated Press (AP) menang untuk kategori public service. Itu adalah penghargaan Pulitzer ke-52 bagi AP. Kategori public service termasuk prestisius di Pulitzer. Itu merupakan kali pertama AP mendapatkan penghargaan di kategori tersebut.
Jurnalis AP, yakni Margie Mason, Robin McDowell, Martha Mendoza, dan Esther Htusan, melakukan investigasi selama 18 bulan tentang perbudakan para pria di Myanmar dan beberapa negara lainnya untuk memasok ikan ke restoran dan supermarket di Amerika Serikat (AS). Mereka dikurung di sebuah pulau di Indonesia dan dipaksa bekerja pada kapal-kapal pencari ikan. Beberapa di antaranya akhirnya cacat dan meninggal di atas kapal. Laporan berbentuk berita, video, dan foto-foto tersebut akhirnya berhasil membebaskan ribuan orang yang diperbudak itu. Para pelaku pun ditangkap. (Reuters/AP/sha/c20/ami)