Gabung dengan Pemerintah, Golkar Munas Bali Dituding Salib Kubu Agung
jpnn.com - JAKARTA - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat menilai putusan Partai Golkar bergabung dalam pemerintahan Joko Widodo adalah langkah pragmatis dan sekaligus bukti bahwa Koalisi Merah Putih (KMP) bukan koalisi ideologis.
"Partai Golkar dan Gerindra adalah inisiator dibentuknya KMP. Kalau KMP ini dibangun berlandaskan ideologis, maka apapun masalah yang dihadapi oleh anggota koalisi harusnya dihadapi sebagai tantangan. Kalau masalah itu diselesaikan dengan pindah koalisi, maka artinya koalisi yang dibangun bukan koalisi ideologis dan Golkar sebagai inisiator sangat pragmatis," kata Syarif ketika dihubungi, Senin (25/1).
Selain pragmatis, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie Munas Bali lanjutnya, juga mencuri di tikungan karena sejak awal kubu Partai Golkar Ancol yang dipimpin Agung Laksono ingin bergabung ke pemerintahan. Sementara Aburizal mengatakan akan tetap berada dalam KMP. "Agung Laksono dan kubunya disalib oleh Aburizal di tikungan," tegasnya.
Langkah Aburizal merapat ke pemerintahan Jokowi ujarnya, untuk sementara waktu mampu mengurangi konflik internal yang terjadi dalam tubuh Golkar. "Keduanya sudah sama-sama berkeinginan mendukung pemerintahan. Jadi ini akan meredam sementara konflik internal yang terjadi," jelasnya.
Masalah baru yang muncul lanjutnya, bergabungnya Golkar ke pemerintahan akan berdampak pada komposisi anggota kabinet karena adanya deal politik yang telah dilakukan. Istilah kasarnya ujar Syarif, tak ada maka siang gratis, dan tentu ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat.
"Tidak ada makan siang gratis. Karena niat bergabung alasannya pragmatis maka pasti ada deal politik, apalagi reshufle jilid dua belum jadi dilakukan. Komposisi kabinet tentuya akan berubah. Namun bergabungnya partai-partai yang bukan sepenuhnya karena ditarik tapi karena keinginan partai-partai itu sendiri, akan membuat daya tawar mereka tidak sekuat kalau mereka ditarik," tegasnya.
Bergabungnya Partai Golkar yang sebelumnya telah dilakukan oleh PAN dan kemungkinan nantinya diikuti oleh PKS dan PPP lanjutnya, juga akan berimpilikasi pada dinamika demokrasi karena dominan diwarnai oleh pertimbangan pragmatis.
"Ini akan menambah beban proses demokratisasi. Proses itu secara singkat bertujuan untuk menghadirkan demokrasi plus perilaku demokrasi. Jadi lembaga demokrasi itu hadir dan perilakunya juga eksis di lembaganya. Kalau koalisi yang dibangun pragmatis, maka tentunya akan berdampak pada proses demokratisasi. Ini akan memperburuk atau memperlambat hadirnya perilaku demokrasi dalam prosesnya," pungkasnya.(fas/jpnn)