Gerakan Perempuan Minta UU Perkawinan Direvisi
jpnn.com - JAKARTA - Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan, mendesak pemerintah untuk melakukan revisi pada Undang-undang (UU) Perkawinan. Revisi diminta untuk dilakukan pada ayat yang mengatur usia minimal perempuan diperbolehkan menikah. Ayat tersebut dinilai sebagai upaya pemiskinan pada perempuan.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartika Sari menuturkan, pada ayat tersebut menyatakan usia minimal perempuan diperbolehkan menikah pada usia 16 tahun. "Bahkan lebih parah lagi, dalam ayat selanjutnya dinyatakan kalau usia minimum dapat diberi dispensasi," katanya saat ditemui Jawa Pos, di Warung Daun, Cikini, Minggu (19/10).
Dispensasi ini, lanjut dia, adalah diperbolehkannya perempuan usia di bawah 16 tahun untuk menikah dengan persetujuan kedua belah pihak. Padahal menurutnya, di usia tersebut seorang perempuan tidak memiliki kesiapan secara keseluruhan, baik secara mental maupun organ reproduksi. Imbasnya, banyak yang akhirnya bercerai setelah menikah selama 2-3 tahun.
Kondisi nikah muda itu pun menjadi penyumbang angka tertinggi dari jumlah kematian ibu saat mengandung maupun melahirkan. "Ini akan sistemik mempengaruhi hidup sang perempuan. Kita minta untuk direvisi jadi minimal 18 tahun," urainya.
Dian melanjutkan, dampak selanjutnya akan muncul usai perceraian terjadi. Dari data yang ia peroleh, sebagian besar perempuan yang menikah muda telah berhenti sekolah. Usai berpisah dengan sang suami, mereka pun otomatis dituntut untuk menafkahi anak-anaknya. Karena, sebagian besar dari pasangan nikah muda ini tidak tercatat di KUA, sehingga perempuan tidak bisa menuntut adanya hak nafkah dari mantan suami. Dari catatannya, ada sebanyak 14 juta RT yang dipimpin oleh perempuan saat ini.
"Tapi karena pendidikannya tidak mumpuni akhirnya pekerjaan apa pun dikerjakan olehnya. Bahkan dengan gaji yang sangat minim. Mereka akan masuk dalam lingkaran kemiskinan kembali," jelasnya.
Yang lebih dramatis lagi, Dian mengatakan, dalam kondisi tersebut mereka pun sulit untuk mendapat bantuan dari program-program pengentasan pemerintah. Permintaan pemenuhan surat nikah untuk membuat akte kelahiran anak maupun surat bantuan lainnya akhirnya tidak bisa dilakukan. "Mau dibilang janda juga gak ada surat nikah. Anak di sekolah mau dapet bantuan juga susah. Pemerintah tau ini. Karenanya secara tidak langsung ini adalah upaya pemiskinan," tegasnya.
Mengetahui fakta-fakta tersebut akhirnya mendorong Dian bersama anggota Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan meminta untuk dilakukannya revisi pada UU Perkawinan. Dian menyebut, dengan upaya kenaikan usia minimum pernikahan akan dapat membuat perempuan lebih siap. Sehingga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. "Jika pemerintah tidak bisa mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh akan lebih baik kalau dapat dicegah," tutupnya. (mia)