Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Gigih Berguru Fisika Kedokteran Nuklir di Australia

Rabu, 30 September 2015 – 20:18 WIB
Gigih Berguru Fisika Kedokteran Nuklir di Australia - JPNN.COM

Kepedulian yang besar terhadap keselamatan pasien kedokteran nuklir di tanah air, membuat wanita asal Kota Jogjakarta ini dua kali menampik kesempatan melanjutkan studi S-3 ke luar negeri. Satu dari pakar fisikawan kedokteran nuklir yang masih langka di Indonesia ini bertekad akan mendorong terciptanya pengobatan terapi nuklir berbasis dosis individu.

Gigih Berguru Fisika Kedokteran Nuklir di Australia
Nur Rahmah Hidayati, Peneliti di Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi radiasi - Badan Tenaga Atom Nasional (PTKMR-BATAN) didepan mesin Gamma Camera BATAN.


Pemanfaatan teknologi nuklir didunia kedokteran baik untuk  mengobati maupun mendiagnosis penyakit kini mulai intensif digunakan di Indonesia. Terapi kedokteran nuklir banyak digunakan untuk penyakit kronis seperti jantung, ginjal, tumor dan yang paling umum adalah untuk pengobatan kanker.  
 
Pengobatan dengan teknologi nuklir memanfaatkan materi radioaktif yang memancarkan radiasi untuk mendeteksi sel-sel kanker di dalam  tubuh.  Dan karena memiliki daya tembus yang tinggi,  obat yang dibuat dari zat nuklir atau radiofarmaka dapat membunuh semua sel kanker secara terarah tanpa mengganggu atau merusak sel/organ tubuh yang sehat. 
 
Pemanfaatan teknologi kedokteran nuklir diagnostik dan terapi di Indonesia saat ini masih menghadapi sejumlah kendala, diantaranya pelayanannya masih terbatas di beberapa rumah sakit saja di Indonesia. Dan tenaga dokter yang mampu melakukan pengobatan ini hanya kurang dari 50 orang dokter saja.
 
Namun menurut peneliti fisikawan medis dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Nur Rahmah Hidayati, kendala di sektor kedokteran nuklir tidak hanya seputar sarana dan prasarana saja.
 
“Tahun 2012, Saya lulus dari Universitas Wollongong, NSW dan meraih gelar master di Pusat Fisika Radiasi Medis. Ketika saya kembali ke Jakarta dan mau menerapkan ilmu yang saya dapatkan di sana, ternyata Saya mendapati kalau pengkajian dosimetri internal radiasi di bidang kedokteran nuklir belum pernah dikerjakan di Indonesia.” 
 
“Kedokteran nuklir sendiri memang sudah ada di Indonesia tapi khusus untuk masalah dosimetri atau ilmu mengukur dosis, mengkaji, mengevaluasi dan  memprediksi dosis dari radiofarmaka yang disuntikan ke tubuh pasien itu belum ada yang mengerjakan.”
 
Menurut Nur Rahmah Hidayati (46),  ketiadaan kajian dosimetri membuat pengobatan radiofarmaka di Indonesia tidak didasarkan pada dosis per individu pasien tapi hanya mengacu pada dosis standard internasional.
 
”Jadi prakteknya selama ini para dokter hanya mengikuti panduan medis dari internasional, dari himpunan bukan berbasis dosis sesuai kebutuhan pasien”. 
 
“Misal anda mau memeriksa diagnosis ginjal, dosis standarnya 10 milikuri (satuan radiasi) ya sudah segitu saja, padahal pasien kan masing-masing punya fisiologi yang berbeda. Misal pasien sama-sama berusia 20 tahun dengan berat badan 45kg,  tapi apakah kondisi ginjal mereka sama? apakah kanker di tubuh mereka itu sama? Kan berbeda-beda,”
 
Kondisi ini juga menurut Nur Rahmah menyalahi prinsip keselamatan pengobatan radiasi. Selain itu pengobatan yang dilakukan juga tidak efektif. 
 
“Prinsip keselamatan radiasi itu kita tidak boleh memberikan dosis yang tidak diperlukan pasien, dan dosis hanya diberikan ketika benar-benar asas manfaat itu lebih besar daripada dampaknya.
 
"Jadi kalau tubuh saya sebenarnya membutuhkan 5 tapi dikasih 6 jadi yang lebih satu untuk apa. sebaliknya jika tubuh saya butuh 6 tapi diberi 5, maka pengobatan yang dilakukan tidak efektif,”
 

Gigih Berguru Fisika Kedokteran Nuklir di Australia
Nur Rahmah BATAN dan mentornya Prof. Dale Bailey dari RS Royal North Shore, Sydney (jas) dan rekannya, Dr. Price Jackson dalam workshop dosimetri internal di Bandung Agustus lalu.


Prihatin dengan kondisi ini Ia pun berusaha untuk mengatasinya, namun sayang tidak ada pakar di Indonesia yang bisa dijadikan guru untuk memperdalam kajian dosimetri internal radiasi ini.

Nur Rahmah Akhirnya kembali melanjutkan studinya ke Australia dan berguru langsung dengan salah satu ahli dalam bidang kedokteran nuklir di Australia dan dunia, yaitu Prof. Dale Bailey dari Royal North Shore Hospital, Sydney. 

Kepedulian yang besar terhadap keselamatan pasien kedokteran nuklir di tanah air, membuat wanita asal Kota Jogjakarta ini dua kali menampik kesempatan

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News