Hadiri HUT ke-60 Golkar, Bamsoet Apresiasi Prabowo Dukung Perubahan Sistem Demokrasi
Masyarakat pun tanpa sungkan meminta imbalan finansial sebagai balasan atas suara yang diberikan. Istilah "nomer piro wani piro" (NPWP) menjadi biasa di kalangan masyarakat, menunjukkan bahwa pemilih lebih memprioritaskan keuntungan finansial daripada kualitas dan kapabilitas caleg.
Makna demonrasi telah bergeser jauh, dari demokrasi substansial menjadi demokrasi prosedural.
Laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terdapat peningkatan signifikan dalam pelanggaran kampanye yang berkaitan dengan politik uang, mencapai lebih dari 30 persen dalam beberapa daerah pemilihan.
Sementara, data Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023, menyebutkan sekitar 60% pemilih menyatakan bahwa faktor keuangan dari caleg lebih memengaruhi keputusan mereka ketimbang visi atau misi yang diusung.
"Akibat dari politik transaksional ini, banyak calon legislatif ataupun calon kepala daerah yang berkualitas dan memiliki integritas serta kapabilitas terpaksa tersingkir, karena tidak punya 'isi tas'. Kompetisi politik berkembang menjadi pertarungan kekuatan finansial, dimana visi, misi, dan program kerja hanya menjadi sekadar formalitas belaka. Untuk menjadi anggota DPR dibutuhkan uang sebesar Rp 10-50 miliar, sementara untuk menjadi bupati atau wali kota diperlukan modal setidaknya Rp 50-100 miliar," kata Bamsoet.
Ketua Dewan Penasehat SOKSI itu menjelaskan, data tersebut menunjukkan biaya tinggi untuk kampanye telah menjadi suatu keharusan bagi mereka yang berniat terjun ke dalam dunia politik.
Praktik politik transaksional ini berpotensi menciptakan siklus korupsi yang semakin dalam di lingkungan pemerintahan.
Biaya yang dikeluarkan untuk kampanye sering kali mendorong kepala daerah atau anggota dewan untuk mencari jalan pintas untuk mendapatkan kembali modal besar yang telah dikeluarkan.