Hajriyanto Ibaratkan Elite Golkar Dengan Burung Unta
jpnn.com - JAKARTA - Politikus Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari menilai, kondisi partainya sekarang tidak bisa dibandingkankan dengan saat awal-awal reformasi. Ia pesimis partainya bisa bangkit dari keterpurukan dan bahkan beberapa tahun kemudian jadi pemenang pemilu.
Diakui Hajriyanto, masalah yang dihadapi Golkar saat awal reformasi lebih berat dibandingkan sekarang. Namun di sisi lain, kala itu kualitas kepemimpinan Golkar jauh lebih baik dan solid dibanding sekarang.
"Saat itu kepemimpinan PG sangatlah transformatif dan responsif terhadap cita-cita reformasi. Kedua, kepemimpinan PG saat itu solid dan kokoh. Tidak seperti saat ini tercabik-cabik dalam perpecahan yang disebabkan oleh hal-hal yang pragmatis, bukan ideologis," kata Hajriyanto melalui pesan pendek, Senin (22/12).
Situasi saat ini, lanjutnya, diperburuk lagi dengan sikap para elite Golkar yang seakan menutup mata terhadap kenyataan bahwa partai tengah bermasalah. Hajri menyebut para elite Golkar tengah memainkan "politik burung unta".
"Burung unta itu merasa sudah tidak ada yang mengejar kalau sudah berhasil menyembunyikan kepalanya di pojok dan matanya sudah tidak melihat ada musuh. Padahal dia saja yang tidak melihat musuh. Politik burung unta adalah politiknya orang yang pura-pura tidak melihat ada tantangan, ancaman, dan persoalan. Politik yang suka menutup-nutupi masalah," jelasnya.
Hajri mencontohkan pernyataan beberapa politikus Golkar yang mendeskriditkan survei terbaru LSI Denny JA. Survei yang memperlihatkan bahwa elektabilitas Golkar tengah berada di titik terendah itu dianggap sebagai pesanan pihak luar yang ingin memecah belah.
Mantan Wakil Ketua MPR ini mengakui, survei tersebut belum tentu menggambarkan kenyataan. Tapi, tidak perlu juga elite Golkar mengeluarkan pernyataan yang menghina lembaga riset yang membuatnya.
"Sikap sinisme yang ditunjukkan oleh beberapa oknum DPP PG itu tidak mencerminkan sama sekali sikap seorang yang terpelajar. Hasil survei itu mestinya disikapi secara proporsional saja sebagaimana mestinya seorang yang berpendidikan, dan kemudian diposisikan menjadi salah satu bahan pertimbangan penting untuk pengambilan kebijakan," pungkasnya. (dil/jpnn)