Hakim Indonesia Belum Ideal
JAKARTA-Pakar Administrasi Publik, Sofian Effendi, menyatakan kualitas hakim di tanah air, masih tidak sesuai dengan kualitas perkara yang ada.”Perkara saat ini, semakin canggih seperti perkara cyber,” katanya dalam acara acara Sarasehan Dalam Rangka Pengembangan Cetak Biru Pembaruan MA, di Gedung MA, Jakarta, Kamis (5/3).
Lebih lanjut dikatakannya kondisi demikian dipengaruhi dengan pendidikan hakim yang didominasi berpendidikan tingkat strata satu (S1) mencapai 98 persen, sedangkan pendidikan strata dua atau tiga hanya dua persen.
Mantan Rektor Univerasitas Gajah Mada Jogjakarta itu juga menuturkan, perkara saat ini semakin rumit hingga hakimnya dikhawatirkan tidak bisa memeriksa perkara yang demikian canggihnya. Dengan kondisi demikian, hakim akan sulit melakukan putusan pada perkara-perkara seperti itu. “Susah diharapkan lembaga peradilan dapat berlaku adil dan cepat,” kata Sofian.
Disamping itu, lanjut mantan Kepala BAKN itu, masalah perbandingan jumlah hakim dengan jumlah perbandingan atau rasio perkara tidak berimbang, seperti seorang hakim rata-rata menangani 100 perkara per bulan atau dapat dikatakan rasionya seorang hakim melayani 25 ribu penduduk.
Karena itu, ia memberikan masukan kepada MA untuk melakukan reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) hakim, seperti meningkatkan profesionalitas pimpinan lembaga peradilan, kepaniteraan dan staf pendukung melalui rekrutmen secara kompetitif. “Mengadakan badan pengembangan SDM atau mengembangkan Komisi Yudisial sebagai lembaga independen untuk pembinaan hakim, panitera, dan staf pendukung,” paparnya.
Disamping itu, ia juga menyoroti keterbatasan anggaran di masing-masing pengadilan negeri (PN) yang hanya Rp 25 juta per tahun. “Bagaimana bisa menciptakan peradilan yang berwibawa dengan anggaran seperti itu,” tandasnya. Sementara itu, Ketua KY, Busyro Muqoddas, menyatakan prasyarat utama untuk mengatasi problem yang ada dan menjalankan pembaruan peradilan, adalah harus dibangunnya suatu budaya organisasi yang beresensi pada core value dan common value. “Untuk mengatasi problem yang ada dan menjalankan pembaruan peradilan, adalah harus dibangunnya suatu budaya organisasi,” imbuhnya. (rie/JPNN)