Hakim Perkara Ahok Terapkan Standar Ganda
Namun demikian, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan. Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskannya.
“Atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU,” ujar Hendardi.
Hendardi menambahkan, menyimak konsideran putusan atas Basuki tampak bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu.
Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki. Tapi di sisi lain, ujar dia hakim ahistoris dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat.
“Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi,” tegasnya.
Dia mengatakan, ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum inilah yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob.
“Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki,” paparnya.
Menurut dia, trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law dan membahayakan demokrasi dan negara hukum.
Karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum.
“Due process of law dalam penegakan pasal 156 a tidak pernah dilakukan, padahal genus pasal 156 a adalah UU nomor 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses non-yudisial sebelum seseorang diproses secara hukum,” kata dia.
Dia menegaskan, trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas “in dubio pro reo” dalam memutuskan kasus Basuki.