Hasyim Paparkan Alasan Dukung Jokowi
jpnn.com - JAKARTA - Mantan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi kembali menegaskan dukungannya terhadap capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, dia mengatakan bahwa dukungan itu semata-mata dilakukan karena faktor Jusuf Kalla yang termasuk kader NU tulen.
Hal tersebut disampaikan Hasyim saat menjadi pembicara Bahtsul Masail dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Muslimat NU di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, Kamis (29/5). Selain Hasyim, pembicara lain adalah pengamat politik UI Hamdi Muluk. Moderatornya adalah Yenni Wahid.
Di hadapan ribuan kader Muslimat NU, Hasyim memaparkan kriteria pemimpin Indonesia masa depan. Menurut dia, presiden terpilih harus mau memperjuangkan prinsip"wasathan (sifat moderat dan keseimbangan) sebagai inti ajaran ahlusunah waljamaah.
Secara pribadi, Hasyim akan memilih capres dari NU. Karena tidak ada capres dari kalangan NU, pilihannya jatuh pada cawapres JK yang berasal dari NU. JK, kata dia, adalah kader NU tulen yang integritasnya tidak diragukan. Dengan memilih kader NU, dia berharap prinsip ke-NU-an bisa ditanamkan. "Jusuf Kalla ini figur NU tulen. Dari caranya bernegara sangat NU. Dia tukang menghilangkan konflik. Bukan membuat konflik," ujarnya.
Meski demikian, Hasyim menegaskan pilihan tersebut bersifat pribadi. Secara institusi, NU tidak boleh mendukung salah satu calon. "Jadi, kalau ibu-ibu mau ikut mangga," katanya di depan peserta mukernas. Hasyim juga meyakini mayoritas suara warga NU pada pilpres 9 Juli nanti ke Jokowi-JK."
Terkait dengan dukungan sejumlah tokoh NU kepada Prabowo-Hatta, Hasyim yakin tak akan berpengaruh signifikan. "Dukungan keduanya tentu berpengaruh ke warga NU. Tapi, tidak terlalu signifikan (sedikit)," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat politik Hamdi Muluk mengatakan, negara harus mencari pemimpin yang baik untuk mengurus bangsa. Saat ini mandat UU hanya mencetak pemimpin dari partai politik. Di sisi lain, parpol tidak bisa diandalkan. Sesuai dengan teori perilaku politik, sikap politisi saat ini menunjukkan kelemahan dalam komunikasi politik. Contohnya adalah kampanye hitam yang menyudutkan salah satu pasangan capres-cawapres.
"Makanya, saya setuju teori Minang yang mengatakan bahwa pemimpin adalah tidak lebih dari orang yang ditinggikan seranting dan didulukan selangkah," katanya. Artinya, pemimpin yang baik harus dekat dengan rakyatnya. Dengan begitu, tingkah dan ucapannya bisa dikontrol rakyatnya.
Untuk itu, sistem parpol harus dibenahi. Yang paling penting adalah jumlah partai jangan terlalu banyak. Caranya dengan menambah ambang batas yang kini hanya 3,5 persen. "Ke depan cukup ada tiga partai supaya umat bisa mengontrol," jelasnya. (yuz/c7)