Homestay Desa Wisata buat Kawasan Perbatasan
Dengan inisiatif seperti itu, Menpar Arief Yahya pn berani berambisi untuk memosisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia. Desainnya pun beragam dan keren-keren. Gambarannya sudah bisa dilihat dari hasil lomba desain homestay Arsitektur Nusantara yang digelar Kemenpar, akhir Oktober 2016.
Arsitektur bergaya Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, Morotai, Tanjung Kelayang, Wakatobi, Bromo-Tengger-Semeru, Borobudur, Tajung Lesung serta Kepulauan Seribu dan Kota Tua, kembali diperlihatkan. “Ini sekaligus untuk memenuhi kebutuhan akomodasi yang sangat besar dalam rangka mewujudkan visi mendatangkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara di tahun 2019,” ujar Arief.
Yang dibutuhkan tentu banyak. Dari estimasi peraih penghargaan Marketeer of The Year 2013 itu, Indonesia setidaknya butuh 100 ribu kamar di berbagai destinasi wisata utama.
Dampaknya tentu bisa sangat dahsyat. Semuanya bisa langsung menyentuh ke masyarakat.
Dari estimasi Arief, andai satu hotel memiliki 100 kamar, maka maka untuk mewujudkan target di atas dibutuhkan setidaknya 1000 hotel. Waktu pembangunannya juga lama karena bisa sekitar 5 tahun.
“Dan biasanya, hotel-hotel yang punya brand tinggi tak mau membangun hotel di sembarang lokasi. Yang dibidik biasanya hanya kota-kota besar dengan pasar yang sudah terbentuk,” katanya.
Solusi terbaiknya adalah membangun homestay. Pembangunan homestay bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air. Dan nantinya, homestay tersebut bisa dimiliki masyarakat di sekitar destinasi wisata.
“Membangun 100 homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Misalnya kita memerlukan lahan sekitar satu hektar. Katakan sekitar 30 persen dari lahan tersebut disisihkan untuk fasilitas umum, maka masih ada 7.000 m2 yang bisa dikapling-kapling untuk dijadikan 100 homestay type LT/LB berukuran 70/36 m2. Pembangunannya-pun dapat dilakukan secara bertahap,” ujarnya.