Hutan Batu Maros, Destinasi Wisata Alam yang Kurang Dapat Perhatian
Di beberapa lokasi, rumah-rumah panggung milik penduduk seolah terlindungi kukuhnya bebatuan di belakangnya. Saya sempat bertemu Syamsuddin, satu di antara 17 kepala keluarga yang mendiami desa terpencil tersebut. Udin –begitu dia disapa– mengajak saya berjalan sekitar satu kilometer ke arah tebing batu. Ternyata, dia ingin menunjukkan beberapa gua di bawah tebing tersebut.
’’Ini ada bekas telapak-telapak tangan orang zaman dulu yang mungkin pernah tinggal di gua-gua ini,’’ ujarnya sambil menunjuk ke arah dinding tebing.
Udin bercerita, selama ini tidak banyak orang yang datang untuk menikmati wisata gua di desanya. Kalaupun ada, mereka hanya beberapa warga lokal saat weekend. Atau, anggota pencinta alam yang kampingdan membersihkan sekitar lokasi tebing.
Namun, sesekali ada pula rombongan turis asing. Selain menyusuri hutan batu, mereka mengajak penduduk berkomunikasi. Tidak jarang mereka menginap di rumah penduduk, termasuk di rumah Udin.
’’Kami tidak memasang tarif. Silakan mau bayar berapa terserah,’’ ujar Udin.
Udin mengakui, wisatawan jarang ke desanya lantaran tak ada alat transportasi yang secara rutin bisa menjangkau. Selama ini, hanya ada perahu milik warga di luar Desa Berua yang dibanderol dengan harga mahal untuk sekali jalan. ”Tarifnya Rp 250 ribu. Padahal, itu perahu kecil,” jelasnya.
Saya sempat mampir ke rumah panggung Udin. Rumah berlantai dua yang cukup besar itu dihiasi foto-foto panorama Desa Berua. ”Foto itu kiriman wisatawan yang pernah menginap di sini,” papar dia.
Selain dikirimi foto, Udin pernah disumbang seperangkat alat untuk pembangkit listrik tenaga surya agar rumahnya bisa terang saat malam. Yang menyumbang juga wisatawan yang pernah menginap di rumah Udin.