Islam dan Gender
Oleh: Esty Martiana Rachmie*Misalnya, mengurus dan mendidik anak adalah tanggung jawab dan kewajiban ibu. Termasuk mengurusi rumah. Seorang bapak hanya bertugas mencari nafkah. Jika anak nakal atau tidak berhasil dalam studi, ibulah yang disalahkan. Padahal, anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua. Begitu juga mengurus rumah. Baik laki-laki maupun perempuan sah-sah saja mencuci baju, piring, bahkan mengepel rumah.
Karena itu, pemahaman hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan perlu dilakukan secara kontekstual agar bisa diambil pengertian yang mendalam. Bukan secara tekstual yang dipengaruhi budaya sehingga terkooptasi pemikiran dan pandangan terhadap perempuan. Padahal, sebenarnya tidak ada hal yang perlu dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Kini, bukan zamannya lagi istri hanya berdiam diri dan pasrah pada slogan suargo nunut, neroko katut saat bersama suami.
Sebab, yang menentukan seorang istri bisa masuk surga atau neraka itu bukanlah suami. Tetapi, diri sendiri. Begitu pula dalam hal meraih kedudukan dan kesuksesan di masyarakat. Apalagi, perempuan memiliki kelebihan yang tidak bisa dimiliki laki-laki. Yakni, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tiga hal mendasar itulah yang sejatinya membuat perempuan berbeda dengan laki-laki. Perbedaan yang justru membuat mereka istimewa.
Soal ketaatan kepada suami, semua istri memang wajib melakukannya. Tetapi, ketaatan yang tidak membabi buta. Karena di balik kewajiban istri seperti itu, suami juga harus menjalankan kewajibannya. Misalnya, melindungi istri dan memberikan kasih sayang seutuhnya.
Dengan demikian, jika istri telah taat kepada suami, diharapkan mereka juga tidak lupa dengan kewajiban yang dimiliki. Termasuk kewajiban mereka sebagai imam. Jadi, bukan semata-semata istri harus taat, sedangkan suami tidak menjalankan kewajiban. Sebab, besarnya kewajiban perempuan dan laki-laki seimbang.
Untuk bisa mewujudkan hal seperti itu dalam kehidupan nyata, perlu action. Tidak hanya bicara. Apalagi mengubah paradigma dan budaya yang sudah mengakar tidaklah mudah. Misalnya, seorang istri yang berhasil dalam kehidupan masyarakat, menjadi pemimpin, saat di rumah dia tetap harus menghormati suami.
Begitu pula suami yang menjalankan kewajibannya, termasuk anak-anak. Dengan demikian, dalam internal keluarga, terwujud rasa saling menghormati dan mendukung dengan tetap menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebaik-baiknya. Kuncinya, melaksanakan prinsip partnership dengan baik pula.
Karena itu, harus ada pemahaman yang baik terkait gender sesuai dengan ajaran Islam. Jangan hanya memaknai setengah-setengah. Stereotip yang salah tanpa paham yang sebenarnya. Tetap harus menjaga keutamaan perempuan yang dalam Islam berada di tempat utama, terutama dalam tindakan nyata. (may/c7/ib)