Jenazah Korban AirAsia Ditaburi Kopi, Ini Dampaknya
jpnn.com - SURABAYA - Jenazah korban pesawat AirAsia QZ 8501 yang dievakuasi dari perairan Selat Karimata, hampir semua kondisinya tidak sempurna.
Ketua Tim Disaster Victim Investigation (DVI) Kombespol Budiyono menyesalkan adanya serbuk yang menempel di tubuh jenasah tersebut. Pasalnya, serbuk tersebut menghambat proses identifikasi yang dilakukan tim DVI.
Serbuk yang sering ditemui adalah kopi. Memang, tim evakuasi di lapangan menggunakan serbuk kopi untuk menghilangkan bau jenasah. Maksud baik tersebut bertentangan dengan sistem yang diterapkan DVI di Polda Jatim.
Budiyono menilai komunikasi antara tim di lapangan dengan petugas identifikasi kurang berjalan baik. Akibatnya, kondisi jenasah tidak murni. Banyaknya serbuk kopi merusak data primer di jenasah tersebut. "Permasalahan ini menjadi bahan evaluasi," katanya.
Proses kerja DVI terbagi dalam beberapa tahap. Pertama evakuasi di lapangan. Pada tahap itu, tim melakukan pengamanan. Salah satunya menjaga bentuk jenasah murni tanpa ada perubahan apa pun. Kurangnya komunikasi menjadikan tahap ini tidak berlangsung dengan baik.
Dia menjelaskan dampak bubuk kopi yang menempel pada tubuh jenasah. Saat serbuk tersebut ditaburkan ke tubuh korban, kondisi jenazah basah. Otomatis, air laut bercampur dengan serbuk kopi menempel di jenazah.
Ketika tim DVI di RS Bhayangkara membersihkan serbuk itu, banyak kulit tubuh terkelupas. Padahal, bagian itu biasanya terdapat data sekunder. Seperti tahi lalat, tanda lahir, bekas luka, dan beberapa jenis tanda lainnya.
Ketika bagian tersebut terkelupas, otomatis hilang data sekunder tersebut. Padahal tim DVI sangat membutuhkan data tersebut. Karena itu, kata Budiyono, tim DVI di RS Bhayangkara mengomunikasikan kembali kepada tim di lapangan. "Sebisa mungkin kondisi jenasah murni seperti saat ditemukan," ucap dia.
Budiyono juga menjelaskan, penetapan identitas didapat dari data primer dan sekunder. Data primer berupa pembandingan antara post mortem dan ante mortem jaringan. Bisa didapat dari DNA atau rekam gigi.
Hasil pembandingan itu didukung dengan data sekunder. Bisa keterangan keluarga mengenai ciri fisik, pakaian terakhir, asesori, dan tanda pengenal.
Penjelasan itu menegaskan bahwa tanda pengenal yang melekat di tubuh korban tidak bisa dijadikan patokan identitas jenasah. Tapi hanya petunjuk yang mengarah ke salah satu korban.
Seperti jenasah yang baru saja ditemukan, dijelaskan tim evakuasi ada kartu tanda pengenal di dompet korban. "Itu belum bisa menjadi kepastian. Siapa tahu, KTP itu milik orang lain yang dibawa korban," ujar Budiyono.
Karena itu, tetap dilakukan identifikasi. KTP hanya menjadi petunjuk. Sedangkan keputusan tetap berdasarkan perbandingan data ante mortem dan post mortem primer serta sekunder.
Hingga kemarin, tim identifikasi belum berhasil memunculkan kembali nama korban. Sampai saat ini dari 53 jenasah yang diterima RS Bhayangkara baru 47 yang teridentifikasi. Masih ada enam yang belum terungkap.
"Kami bekerja berdasarkan ketepatan, bukan kecepatan. Karena itu, kami minta keluarga bersabar," jelas Budiyono. (riq)