Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Jokowi, Prabowo dan Media

Kamis, 10 Juli 2014 – 00:22 WIB
Jokowi, Prabowo dan Media - JPNN.COM
Calon presiden nomor urut 2, Joko Widodo usai menggunakan hak pilihnya di pemilu presiden (pilpres) Rabu (9/7) di Jakarta. Foto: Ricardo/JPNN.Com

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya, tidak akan lahir dalam suasana politik yang masih otoriter (baca: belum demokratis). Demikian pula dengan undang-undang penyiaran, keterbukaan informasi publik dan lain sebagainya. Maka tesis McNair (2011) tentang kompleksitas hubungan politik, media dan demokrasi adalah keniscayaan yang patut diperhatikan secara lebih mendalam.

Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication (5th Edition, 2011) menegaskan bahwa media tidak lagi sekadar saluran komunikasi untuk praktik-praktik politik yang dijalankan, lebih dari semuanya media telah menjadi bagian penting dalam proses politik yang terjadi –utamanya di Inggris dan Amerika Serikat. Media, dengan demikian juga memilih jalan politiknya sendiri untuk berpihak atau tidak berpihak pada isu-isu politik yang sedang berlangsung.

Keberpihakan sejumlah media cetak, televisi dan media online pada kedua pasangan capres-cawapres pada pemilu kali ini menjadi sangat kentara, dan patut dimaklumi karena faktanya para pemilik media tersebut adalah orang-orang penting di belakang kontestasi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Fenomena ini menjelaskan tesis McNair bahwa saat ini media (sebagai teks dan konteks) adalah aktor politik itu sendiri.

Jokowi atau Prabowo?
Bagi kita masyarakat pembaca media, pilihan antara Jokowi atau Prabowo sudah selesai saat kita menggunakan hak pilih pada 9 Juli kemarin. Meski secara subjektif banyak orang sudah dapat menduga siapa yang akan menjadi presiden kita untuk lima tahun ke depan, sebagian yang lain lebih rasional untuk menunggu pengumuman resmi dari KPU.

Bagi media pilihan antara Jokowi atau Prabowo adalah pertaruhan kredibilitas mereka di masa yang akan datang. Maka selain sejumlah media yang telah menyatakan partisan untuk berpihak pada calon presiden tertentu, media-media lain yang masih menyatakan sikap untuk independen dan objektif bersikap lebih hati-hati melihat fenomena menang/kalah tipis pertarungan Jokowi dan Prabowo ini.

Sebenarnya jika kita boleh menuduh dan menuding, hampir sebagian besar media mainstream dan sejumlah sosial media cenderung lebih “suka” kepada Jokowi. Bukan karena Jokowi lebih hebat dari Prabowo jika kemudian salah satu dari mereka benar-benar jadi presiden, akan tetapi karena secara keseluruhan Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu mampu menjaga momentum hubungan baik dengan media. Dan hal itu disadarinya sejak memutuskan berkarir di politik sebagai Wali Kota Solo pada 2005 silam.

Praktik media relations yang dibangun Jokowi dan keberhasilannya bertarung pada pilpres kali ini menjelaskan tesis awal tulisan ini bahwa demokrasi modern yang meniscayakan kehadiran lembaga survei dan hitung cepat dalam waktu yang bersamaan meniscayakan kehadiran dan peran-peran media untuk mengartikulasi dan mengagregasi kerja-kerja politik seseorang agar sampai kepada masyarakat secara lebih luas.

Jadi, jika kemudian Prabowo yang menjadi presiden RI 2014-2019, maka dia patut berterima kasih kepada para kolega politiknya yang memberikan ruang publisitas lebih lewat sejumlah media yang dimilikinya. Berbeda jika kemudian Jokowi yang akhirnya menjadi presiden, maka relasi yang terbangun adalah “cerita yang terus berlanjut” karena antara Jokowi dan media telah terbangun gain-gain relations atau relasi saling menguntungkan.

DUNIA secara keseluruhan, demikian Cavallaro (2004) menuliskan, dapat dipahami secara metaforis sebagai sebuah teks. Bukan teks yang linear dan naratif,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close