Jokowi Setujui Asing Boleh Miliki Properti, Ini Alasannya
JAKARTA - Polemik kepemilikan properti oleh warga negara asing (WNA) yang terjadi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), akhirnya tuntas di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki menyebut, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, pengurus Real Estate Indonesia (REI) memang mengusulkan agar pemerintah membuka sektor properti untuk kepemilikan asing. "Presiden setuju," ujarnya di Kantor Presiden kemarin (23/6).
Teten memastikan, persetujuan tersebut bakal disertai syarat agar para developer atau pengembang perumahan tetap mengedepankan akses pembelian properti untuk warga negara Indonesia (WNI). "Jadi prioritasnya harus tetap WNI," katanya.
Menurut Teten, langkah pemerintah membuka akses kepemilikan properti untuk WNA dilakukan sebagai salah satu strategi menghadapi persaingan di tingkat regional. Sebab, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga sudah membuka akses properti untuk warga asing. "Supaya industri properti kita kompetitif," ucapnya.
REI sebenarnya sudah lama mengusulkan pembukaan akses kepemilikan properti untuk warga negara asing. Bahkan, dalam Rapat Kerja Nasional REI 2012 lalu, Presiden SBY sempat memberi sinyal persetujuan, meskipun mengakui jika masih ada suara serta antiasing dari publik, sehingga perlu penjelasan gamblang terkait kebijakan tersebut. Namun, hingga SBY lengser, kebijakan itu tak juga keluar.
Saat ini, kepemilikan properti oleh WNA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996. Beleid tersebut mengatur bahwa warga asing hanya berhak memiliki hak pakai properti di Indonesia selama 25 tahun yang bisa diperpanjang 20 tahun dan ditambah lagi selama 25 tahun.
Ketua Umum REI Eddy Hussy mengakui, pihaknya memang mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar merevisi aturan terkait kepemilikan properti oleh warga negara asing. "Sebab, pasar properti untuk WNA ini besar sekali," ujarnya.
Menurut Eddy, banyaknya ekspatriat atau WNA yang bekerja atau memiliki usaha di Indonesia merupakan pasar prospektif. Sebab, sebagian besar dari mereka berminat untuk membeli dan memiliki properti di Indonesia. "Apalagi, jika dibanding harga properti di Singapura atau Malaysia, kita masih jauh lebih rendah," katanya.
Wacana membuka kepemilikan properti untuk WNA juga sudah dikaji Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dalam kajian saat ini, akses kepemilikan properti hanya akan dibuka khusus untuk apartemen kategori mewah dengan harga minimal tertentu. "Kajiannya belum final, masih menunggu masukan dari berbagai pihak," ucapnya.
Berdasar kalkulasi REI, jika misalnya pemerintah membuka kepemilikan properti oleh WNA untuk apartemen dengan harga minimal Rp 10 miliar, maka setidaknya bisa menarik pembelian hingga 10.000 unit atau senilai total Rp 100 triliun.
Dari jumlah tersebut, potensi pajak langsung maupun tidak langsung yang didapat pemerintah bisa mencapai Rp 40 triliun.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menambahkan, selain apartemen, pemerintah juga tengah mengkaji kemungkinan membuka kepemilikan asing untuk properti jenis rumah tapak (landed house). "Kepemilikan properti itu juga akan disesuaikan dengan izin tinggal mereka," ujarnya.
Rencana pembukaan akses kepemilikan properti oleh asing langsung disorot Indonesia Property Watch (IPW). Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda menyebut, salah satu dampak negatif masuknya asing ke properti Indonesia adalah merangkak naiknya harga properti.
"Meski yang dibuka properti kelas atas, tapi harga properti menengah juga akan terkerek naik," katanya.
Karena itu, Ali mengatakan jika pemerintah harus benar-benar selektif. Misalnya, menetapkan standar yang ketat pemilikan properti oleh WNA khusus untuk harga Rp 10 miliar ke atas. Kalau batasan harga lebih rendah dari itu, maka properti akan diborong asing dan harga properti pasti melonjak. "Jadi harus hati-hati," ucapnya. (owi)