Kalau Ada Apa-apa Biar Mati Berdua
jpnn.com - PERISTIWA akhir tahun lalu menjadi pengalaman paling berharga sekaligus menegangkan bagi Letnan Jenderal (purn) Sutiyoso. Pria yang baru menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) sekitar 6 bulan itu, mengemban tugas untuk menemui kelompok bersenjata di Aceh di bawah pimpinan Nurdin bin Ismail Amat yang akrab dipanggil Din Minimi di sebuah kawasan terpencil dekat bukit kecil.
Pria kelahiran 6 Desember 1944 itu berkisah, Din yang ditemuinya ternyata bukan sosok bersenjata berdarah dingin seperti yang dibayangkan masyarakat. Din adalah sosok yang baik.
Mantan Panglima Kodam Jaya ke 13 itu pun mengurai kisahnya saat bertemu Din di sebuah rumah panggung. Perasaannya campur aduk. Terkadang dengan mata berkaca-kaca Bang Yos mengingat beberapa potongan peristiwa saat pertemuannya semalam suntuk dengan Din.
Bagaimana mantan Gubernur DKI Jakarta itu meraih hati sang pemimpin kelompok bersenjata tersebut untuk menempuh jalur damai dengan negara?
Berikut hasil perbincangan wartawati JPNN Natalia Laurens dan Fotografer Ricardo bersama Bang Yos di kediamannya, Jalan Madiun 34, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/1) kemarin:
Bagaimana awalnya sehingga bapak berinisiatif bertemu Din Minimi?
Ini berawal dari dalam rapat kabinet Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla sampaikan coba selesaikan sengketa dengan cara yang manusiawi dan damai atau save approach. Seperti anda ketahui, kelompok bersenjata itu ada di Aceh, Papua, dan Poso. Kami coba pertama di Aceh, kelompok Nurdin Minimi. Itu awalnya.
Berapa lama dekati kelompok ini?
Saya memulai berkomunikasi itu awal Desember kemarin. Itu pun dengan perantara. Karena untuk bisa mengontak tokoh seperti Nurdin ini kan tidak mudah. Mereka selama ini pasti juga menutupi diri supaya tidak termonitor aparat. Saya pahami itu.
Adakah perantara yang membantu berbicara dengan Nurdin?
Saya waktu itu dibantu juga perantara Juha Christensen, fasilisator perdamaian di Aceh karena dia sudah sering untuk kegiatan seperti itu. Saya minta dia kontak Nurdin. Tentunya sesuai dengan arahan kami. Sehingga saya tahu bagaimana dia di sana. Sampai kepada, saya menganggap perlu berkomunikasi sendiri dengan Din. Lewat Juha saya sampaikan, akhirnya Din juga mau berkomunikasi langsung. Itu pertengahan Desember. Sejak itu, kami berdua intens teleponan. Malam hari kami saling telepon. Sekadar tanya kabar.
Untuk apa teleponan setiap malam dulu?
Supaya saya tahu kondisi psikisnya saat itu. Dengan begitu saya tahu bagaimana suasana hati Nurdin dan anak buahnya. Saya kan juga mengira-ngira dan menilai ini manusia model apa si Nurdin. Dari situ juga saya yakini, dia itu gentle, bukan pengecut. Artinya apa, saya juga harus memperhitungkan keselamatan saya jika bertemu dia secara langsung. Saat kami berkomunikasi itu, dia minta bernegosiasi sampai akhir Januari. Tapi kemudian saya katakan, kenapa enggak secepatnya aja kami bertemu?Saya bilang, saya enggak bisa berdiskusi kalau jarak jauh begini. Di situlah saya memutuskan bertemu, dan sepakat dengan Nurdin bertatap muka pada 28 Desember.
Apa ada syarat dari Nurdin sebelum bapak bertemu dengannya?
Din mau dia yang menentukan tempat dan waktunya. Tentu, saya ngikut aja. Pada saat saya sampai di Lhouksemawe saya bertemu dengan pejabat setempat. Polda dan Kodam. Saya ceritakan akan bertemu Din, membawa misi damai. Saya ceritakan biar kami sepaham dulu. Saya minta Polda dan Kodam tidak melakukan gerakan apa pun saat saya sedang bertemu. Ini demi membangun kepercayaan dan keselamatan saya juga kan. Saya minta semua jajarannya sampai bawah menahan diri. Dan itu dilakukan aparat di sana dengan baik.
Lalu saya berangkat dari hotel saya ke tempat yang disampaikan Nurdin jam dua siang. Perjalanan sekitar 4 jam. Kalau di peta kelihatannya dekat. Tapi ternyata medannya sulit. Saya enggak sangka perjalanannya lama. Nurdin beri semua petunjuk jalan dan katakan akan ada pria bersepeda motor yang menunggu kami. Pakai baju putih. Tapi enggak ketemu.
Ini kebetulan banget pas perjalanan kami temukan pasar kecil di pinggir jalan. Ada yang jual bolu. Saya sudah membatin, ini di sana kalau enggak ada makanan bagaimana, ya sudah saya borong saja. Kami lanjutkan perjalanan, ternyata malah kebablasan. Tanya-tanya orang, disuruh jalan balik lagi. Melewati sawah, kampung kecil, perkebunan sawit. Hujan lagi. Paling ngeri itu karena pas hujan ngelewatin jembatan darurat yang terbuat dari kayu tapi sudah rapuh. Kalau rubuh ya sallam. Untungnya saya nyewa mobil yang bisa off road lewat sungai. Makin deket, malah makin serem. Jam setengah tujuh malam baru sampai di sebuah kampung kecil di pinggir hutan dekat bukit.
Lalu bagaimana kondisi di situ saat tiba? berapa orang yang mendampingi bapak saat itu?
Mereka menunggu saya di situ. Yang nunggu saya di situ puluhan orang. Bawa senjata AK, pakai baju serba hitam. Seremnya kan di situ. Saya waktu itu sama dua orang. Ajudan saya dan satu pengawal. Jalanannya becek sekali. Saya sampai terpeleset berapa kali, untung dibantu ajudan.
Waktu tiba, langsung disuruh naik ke rumah panggung di mana Din Minimi, saya kenalkan mereka ke Din. Saya katakan, "Kami juga bawa senjata lho Din". Dia jawab, "enggak apa-apa Pak".
Saya memang harus declare saat itu, karena saya juga enggak mau mati konyol. Saya bawa pistol, ajudan juga. Pengawal bawa senapan otomatic yang kecil, dikantongin. Taruh di dadanya dan pakai jaket. Di situlah saya mulai bicara. Saya duduk dekat dengan dia. Kalau ada apa-apa ya biar mati berdua. Saya enggak pakai pelindung apa-apa, hanya pakai kaos, jaket.
Lalu pembicaraan apa di awal dengan Din?
Saya lebih banyak mendengar dia malam itu. Apa kekecewaannya. Kira-kira jam 9 saya tanya, sudah berapa lama enggak ketemu keluarga, anak istrimu. Dia jawab empat tahun. Saya tanya, enggak kangen kamu? Dia jawab, kangen sekali.
Saya tanya lagi, kenapa kita enggak ke rumah keluargamu aja sekarang. Akhirnya, kami konvoi ke sana dengan anak buahnya. Itu sebenarnya, saya sudah deg-degan. Kalau sampai pesan saya ke aparat setempat tidak sampai, dan ada yang melihat konvoi ini dikira lain-lain saya bisa ikut diserang. Untuk enggak. Kami dua jam perjalanan ke kampungnya. Sampai sana jam 11:30 malam. Di situ saya melihat adegan yang tidak disangka. Ibu Nurdin menangis histeris lihat anaknya pulang. Ibunya mengira anaknya sudah meninggal, karena ayahnya kan juga tewas karena bertempur seperti Din. Istri dan anaknya juga gitu. Dia pastinya pikir kembali. Jadi proses untuk mengajak Din ini tidak tiba-tiba. Ini juga karena ada kesempatan seperti itu. Saya sendiri tidak pernah bayangkan seperti itu. Semua larut dalam suasana itu.
Lalu, apa yang terjadi?
Jam setengah satu malam kami lanjut bicara lagi. Saya tanya, Din, apakah kamu mau ke hutan lagi, bertempur lagi?sebuah perjuangan itu harus ada akhirnya. Apa yang kamu cari? Itu saya katakan pada Nurdin. Apa yang kamu minta sudah saya janjikan untuk dipenuhi. Tinggal amnesti yang sedang akan diproses. Apalagi anak buahnya, masih muda. Saya katakan, alangkah baiknya mereka bekerja dan bertemu keluarga. Saya bilang, jika kamu mau bergabung, dia enggan dibilang menyerahkan diri ya jadi saya bilang bergabung saja. Kalau kamu bawa senjata, pasti digerebek aparat karena melanggar. Kalau mau bergabung dengan masyarakat serahkan senjata.
Sampai jam satu kami ngobrol, saya mikir ini belum berakhir. Kalau saya pulang, momentumnya hilang. Saya izin aja mau tidur situ. Dia izinkan. Kami akhirnya ngobrol dan sepakat sampai jam 2. Saya pegang dadanya, saya katakan, memang mulia hatimu Din. Saya tersentuh saat dia bilang mau bergabung kembali ke masyarakat. Saya ini orangnya agak cengeng juga, jadi tersentuh dengan hal-hal seperti itu. Tapi mimik muka dia itu enggak berubah lho. Saya salut. Setelah perbincangan itu baru saya bisa tenang.
Sebelum tidur, saya kasih dia uang, saya minta dibelikan sapi untuk kami makan bersama, sarapan. Saya tidur sebentar. Jam 3, saya bangun beneran, Nurdin sama anak buahnya lagi motong sapi yang saya pesan. Saya mau tidur lagi juga enggak bisa karena lapar. Untung bawa bolu, jadi kami makan ramai-ramai itu. Saya dapat sepotong lumayan, sambil nunggu sapinya dimasak.
Pagi itu, kami makan sapi masakan mereka. Asal tahu saja, masakan orang Aceh itu, enggak tahu pakai bumbu apa aja, selalu enak. Karena lapar saya makan banyak. Itu sarapan saya paling banyak.
Apa yang terjadi setelah makan?
Jam sembilan selesai makan, saya ingatkan dia soal pembicaraan kami semalam. Dia kumpulkan pasukannya di situ dan disampaikan hasil pembicaraan kami untuk bergabung kembali dengan masyarakat. Di situ saya lihat betul militansinya anak buah Nurdin. Mereka patuh sekali. Ngomongnya pakai bahasa Aceh. Saya enggak ngerti. Kemudian diterjemahkan sama salah satu orang LSM dari situ. Kemudian, saya minta mereka mendekat dan saya katakan ini semua sudah berakhir.
Apa saat itu mereka langsung bersedia menyerahkan senjata?
Mau, itu salah satu hal lagi yang saya lihat paling dramatis saat itu. Kenapa? karena senjata itu sudah seperti istri untuk mereka. Ke mana-mana di bawa. Tidur sampai dipeluk senjatanya. 15 senjata diserahkan. Saya sudah ngitung dengan sekali lihat saja. Kan kelihatan. Ada yang berusaha lolos, tapi enggak bisa karena saya minta nyerahinnya satu-satu. Nurdin yang terakhir serahkan senjatanya sebagai simbolis pada saya. Mereka senjatanya AK, ada yang FN. Setelah itu mereka berangkulan. menangis.
Bagaimana Din Minimi saat penyerahan senjatanya yang terakhir?
Saya bilang, Din, kalau saya ini bukan tentara, saya ini bukan laki-laki, jujur aja saya sudah nangis lihat ini. Saya sebenarnya sudah berkaca-kaca. Tapi Din, tidak. Orangnya gentle dan tegar sekali. Dia datar-datar saja saat anak buahnya menangis. Dia tegar. Waktu ketemu keluarganya juga gitu. Yang lain pada nangis. Dia biasa saja. Itu orangnya tegar betul. Saya salut lah. Setelah itu baru saya bisa pulang. Saya berpesan dia tidak melakukan pergerakan selama saya tinggalkan untuk membicarakan permintaannya pada pemerintah. Dia tidak meminta apa-apa. Hanya keadilan untuk masyarakat di sana.
Kelompok Din Minimi minta KPK masuk Aceh, sudah bapak sampaikan itu?
Sudah saya sampaikan dan mereka (KPK) komit akan lakukan itu. Menurut saya ini baik untuk dua-duanya.
Presiden sudah setuju beri amnesti untuk kelompok ini, lalu bagaimana?
Presiden kita sangat konsisten. Ini kan juga berproses. Ada teknisnya. Saya berharap, Menkopolhukam yang bisa mengordinir ini. Kalau bisa jangan lama-lama. Kami kan juga harus jaga situasi kebatinan Nurdin dan anak buahnya. Jangan sampai goyah lagi dia. Unsur kepercayaan dia pada pemerintah bisa hilang. Menkopolhukam juga bilang tenang saja. Saya langsung hubungi Nurdin setelah presiden bilang setuju amnesti. Saya bilang kamu sabar saja. Saya minta dia tidak lakukan pergerakan apa-apa sambil menunggu. Dia juga setuju.
Apa ini awal dari puncak kesuksesan di awal karir bapak sebagai Kepala BIN?
Ini di mata saya bukan keberhasilan. Itu biasa saja bagi saya. Semua orang bisa lakukan. Kebetulan saya yang bisa dapat kesempatan itu. Itu juga bukan kerja saya sendiri. Banyak orang yang berperan. Termasuk kesempatan yang tidak disangka-sangka saat dia bertemu keluarganya dan mereka memintanya untuk kembali. Gerakan seperti ini kan memang tidak bisa kita hanya pakai cara biasa. Ada hal-hal seperti opportunity untuk melakukan pendekatan dengan mereka. (flo/jpnn)