Kampanye Mendidik dan Beretika
Oleh: Ferry Kurnia Rizkiyansyah*Memang, pendidikan politik tidak dapat diwujudkan hanya lewat kegiatan kampanye. Sejatinya pendidikan politik adalah kegiatan yang berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hidup manusia. Namun, seharusnya momentum kampanye menjadi pertanda sebuah komitmen peserta pemilu untuk melakukan pendidikan politik secara berkelanjutan dalam rangka mentransfer nilai-nilai dan ideologi politik ke setiap generasi penerus bangsa dalam rangka membentuk watak bangsa (national character building).
Kampanye rapat umum hanya tersisa tujuh hari lagi. Peserta pemilu kita harapkan dapat mengubah model kampanya rapat umum menjadi kegiatan yang lebih mendidik dan beretika. Sudah semestinya mengedepankan substansi dengan mengkomunikasikan semaksimal mungkin visi, misi dan program partai kepada masyarakat, sekaligus menjauhkan diri dari kampanye yang diskriminatif, menghujat, memfitnah dan menebar kebencian.
Kegiatan kampanye juga tidak boleh mengganggu kohesivitas sosial masyarakat. Partai politik bertanggung jawab untuk memastikan semua kader dan simpatisannya tidak bertindak agresif baik dalam bentuk keagresifan verbal, apalagi tindakan agresif secara fisik. Menurut Dominic Ifanta dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (1996), keagresifan verbal yang biasanya disertai dengan taktik penghinaan, kata-kata ancaman dan ledekan emosional hanya akan menghasilkan kemarahan, keadaan memalukan, menyakiti perasaan dan reaksi negatif lainnya.
Tensi politik yang semakin tinggi menjelang masa tenang dan hari pemungutan suara 9 April 2014 pun sangat mungkin memicu keagresifan verbal lewat orasi-orasi politik para petinggi partai. Pertarungan kata-kata jika berlangsung secara terus menerus akan mengguncang emosi dan stabilitas. Dampaknya, pertarungan kata-kata dapat termanifestasi dalam bentrokan antar-pendukung partai dan kandidat.
Partai juga diharapkan menghindar dari isu-isu primordial. Jangan sampai bangunan masyarakat Indonesia yang multikulturalis dan pluralis yang tadinya hidup berdampingan dengan damai tercabik-cabik karena kampanye. Sebab, sentimen primordial hanya akan merusak rasionalitas pemilih. Akibatnya pemilih menjatuhkan pilihan pada orang yang memiliki ikatan primordial dengan mereka tanpa melihat kapasitas, kredibilitas dan integritas dari sang kandidat. Padahal, tantangan bangsa ke depan makin berat.
Pemimpin yang visioner dan transformatif tidak akan ditemukan dari proses pemilu yang diisi dengan kampanye primordialis. Jika partai membiarkan dirinya terjebak dalam kampanye hitam, menjelekkan pihak lain bahkan berupaya membunuh karakter kompetitor, maka otomatis cita-cita kelahiran partai politik dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan dapat tercapai.
Malahan yang terjadi kohesivitas sosial kita semakin keropos, modal sosial kita untuk membangun semakin tergerus dan mentalitas masyarakat kita semakin rusak. Karenanya partai harus memastikan semua anggota, pengurus dan caleg-calegnya berkampanye dengan menjunjung tinggi etika.
Partai harus menyadari bahwa keberadaannya hari ini tidak dapat lepas dari keberadaan orang lain, termasuk keberadaan partai lain. Partai juga harus berpikir bahwa dirinya tidak akan dapat membangun bangsa ini tanpa dukungan partai lain.