Kampung Laut, Kampung Para Pelaut di Jambi
jpnn.com - KAMPUNG LAUT di muara Sungai Batanghari, Jambi jadi lokus pulang dan perginya para petualang samudera. Pada masa lampau pun di hari-hari ini.
Wenri Wanhar & Ratna Dewi – Jambi
Sejarah yang terlanjur dinarasikan orang banyak boleh saja menulis; Kampung Laut baru dibuka pada 1930-an, pada masa kolonialisme.
Tapi, hingga kini kisah lama tetap hidup. Bahwa rakyat Kampung Laut orang suku Duano, yang sebelum risalah Muhammad masuk, digadang-gadang sebagai suku pemakan segala. Bahkan pemakan Duyung.
Tutur lisan nan sambung menyambung itu merawi, nenek moyang suku Duano adalah pasukan dari Semenanjung Malaka yang melarikan diri ketika Portugis menghancurkan bandar-bandar di Penang.
Versi lain menyebut, mereka perantauan dari Indragiri Riau yang masuk ke Sabak pada abad 19.
Sabak. Dan juga kata-kata yang sebunyi dengannya merupakan nama negeri ini banyak bermunculan dalam literasi primer.
Awal Masehi, namanya bermunculan dalam berita Cina dan berita Arab. Disebut-sebut pula dalam literasi Ptolemy--dinasti Yunani ketika menguasai Mesir.
Orang Laut Sabak
Matahari sedang tinggi-tingginya kala kami tiba di Kampung Laut, Sabak, tepian Pantai Timur Sumatera.
Nun di atas kepala, seekor elang laut terbang anggun berlatar langit keabuan.
Di sini, tak ada pesona pasir putih dan hamparan kebiruan di bentang hadapan. Tak juga julang karang, gulungan ombak dan para peselancar.
Kampung Laut bukanlah pemukiman yang menyihir dengan lanskap pesisir berpasir.
Angin menderu cukup kencang. Menghantar selapis aroma amis dan lembab kayu yang bertahun dipagut air masin.
Rumah-rumah berjejer di panggung-panggung kayu, bertangga permukaan air laut seperti teh susu yang terlalu pekat.
Pompong dan aneka sampan bertambat di tiang-tiang penopang dari kayu nibung.
Pemukiman itu dibelah setapak; papan ketaman kayu bulian.
Setapak yang mengular dan bercabang ini menyangga, bukan hanya pejalan kaki. Tapi juga motor, sepeda dan gerobak yang mengangkut hasil laut.
Ia menghubungkan satu kediaman ke kediaman lain, satu desa dengan rumpun tetangga, dan menyatukan tanah bakau dengan daratan artifial di atas perairan.
Berbeda dengan sebutan orang luar atasnya, penduduk kampung ini lebih suka disebut “orang laut” ketimbang Duano.
“Duano itu sebutan yang dilekatkan orang luar. Berkonotasi pemakan segala daging dan duyung, bentuk tinggalan animisme leluhur sebelum agama Muhammad masuk,” begitu kira-kira kata Pe’i, 37 tahun, pemuda setempat.
Sehari-hari, mereka bergumul hidup bersama orang-orang Minang, Bugis, Banjar, dan Jawa yang menetap di lingkar luar Kampung Laut—mendiami Pantai Timur Sumatera, berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Kini, Orang Laut boleh dibilang pemeluk Islam yang taat. Bila waktunya tiba, suara adzan bersahut-sahutan.
Sore itu, dalam kunjungan kami yang kesekian, lanskap Kampung Laut masih serupa foto yang datang dari masa lalu, perubahan seakan enggan hadir disini.
Denyut Kampung Laut
Berjarak tempuh kurang lebih dua jam dari Kota Jambi, melalui jalur darat pun jua sungai, Anda sudah dapat menjadi bagian dari denyut kehidupan di kampung ini.
Alam sepertinya tak ingin perubahan hadir tergesa di kampung ini.
Kendaraan berat tidak dapat masuk. Anda harus berpuas memarkir mobil di ujung batas jalan cor beton buatan pemerintah setempat.
Setiap pagi, jika cuaca bersahabat, para lelaki mengisi penuh minyak pada mesin pompong dan bersiap memburu isi laut.
Jika langit mengirim pertanda buruk, sebagian tetap melaut dengan bekal tambahan seperti pelampung, jas hujan dan obat-obatan.
Beberapa bahkan membawa jimat pusaka. Setelah matahari condong ke barat dan arus balik ikut menggiring pompong ke tepian, mereka pun kembali ke rumah dengan hasil tangkapan masing-masing.
Primadona lautnya adalah udang nenek atau udang kletak. Ukurannya mulai dari setelapak tangan manusia dewasa.
Yang ini, selain butuh perjuangan agak lebih untuk mendapatkannya, juga tak pernah bisa didapatkan secara massal.
Populasinya memang tidak banyak. Orang mengira karena habitasi bawah laut yang mengalami kerusakan.
Tapi nelayan setempat punya cerita lain. Mereka percaya begitulah cara laut mengajarkan keseimbangan dan menghindari ketamakan.
Rusdi, Lurah setempat bertutur tentang kerasnya hidup di Kampung Laut.
Menurut dia, tiap jelang akhir tahun, memasuki masa pancaroba, nelayan Kuala Jambi--kelurahan yang melingkupi Kampung Laut, akan diuji oleh musim Perbani.
Yakni, air laut tidak kunjung pasang dan juga tidak surut. Tak ada gelombang bawah air, sehingga nelayan sulit melebarkan jala.
Pada masa-masa ini tangkapan ikan menurun drastis dan perahu pun lebih banyak mengandalkan mesin ketimbang angin dan arus.
Biaya melaut jadi lebih mahal dengan hasil yang justru lebih sedikit.
Cerita Rusdi mengingatkan kami pada beberapa studi tentang genealogi kemiskinan yang memampang faktor geografis sebagai salah satu penyumbang tingkat kemelaratan.
Saat Musrenbang Kabupaten di Ruang Pola Kantro Bupati pada 2017, Bupati Tanjung Jabung Timur Romi Haryanto memang mengakui, Kuala Jambi menjadi satu di antara kantong penyumbang standar hidup terendah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur--kabupaten termiskin di Propinsi Jambi.
Berbeda dengan lelakinya, para perempuan Suku Duano lebih banyak tinggal di rumah mengurus hal-hal domestik, sesekali menjahit jala yang robek.
Juga mengolah hasil tangkapan para suami menjadi produk olahan yang lebih bernilai jual.
Kerupuk kulit ikan, kletek udang dan rumput laut kering adalah beberapa penganan yang biasa mereka pasarkan keluar.
Beberapa kali dalam setahun, terutama di bulan Maret dan April, ketika musim angin Utara akan berganti angin Barat, para ibu menggelar masak bersama untuk hajatan doa memohon selamat.
Angin utara yang mengundang gelombang setinggi 4 hingga 6 meter, justru adalah waktu-waktu di mana tangkapan para lelakinya memuncak dalam jumlah.
Hidup di pelarungan memang penuh resiko. Hal yang disadari betul oleh lelaki Duanu.
Setiap tahun ada saja berita tentang nelayan yang ditelan laut atau kapal yang hancur dihantam badai.
Belum lagi kebakaran hebat yang terjadi beberapa tahun sekali melahap rumah-rumah kayu yang rentan diamuk api.
Pada 2011 ratusan rumah hangus. Tiga tahun kemudian, 22 rumah terbakar dan 75 warga luka-luka.
Puluhan tahun sudah, kehidupan mereka seperti tak beranjak dari garis kemiskinan yang tergambar dalam grafik statistik dinas kelautan setempat.
Maka tak heran, belakangan Orang Laut mulai mencari alternatif mata pencaharian baru.
Beberapa membangun rumah kayunya lebih tinggi, menjangkau angkasa. Mengumpan burung walet untuk datang berbagi kemakmuran.
Sebagian lain berharap pada bantuan pemerintah pusat dan daerah yang beberapa tahun belakangan getol membangun pemukiman permanen untuk nelayan.
Sayangnya, itu juga berarti mencerabut mereka dari kemiskinan.
Satu peluang baru adalah pariwisata. Kampung Laut memang dibidik menjadi satu destinasi wisata Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Belakangan, saban tahun digelar Festival Kampung Laut. Dan benar saja, hajatan tersebut berhasil mendatangkan para pelancong domestik dan mancanegara.
Belum ada rilis resmi bagaimana festival ini ikut mendongkrak taraf hidup penduduk setempat.
Yang pasti, belakangan serangkaian ekspedisi beraroma sejarah cukup marak ke Kampung Laut.
Demikianlah. Sabak memang menyimpan lapisan misteri-misteri dari masa lampau. Masa-masa ketika negeri yang hari ini bernama Indonesia masih menjadi bangsa pelaut.
Untuk melihat catatan arsip Eropa, Arab, China dan lain-lain sumber primer sezaman tentang Sabak sebelum dan awal Masehi, sila klik link berita berikut ini: Rahasia Negeri Sabak (1) dan Rahasia Negeri Sabak (2). (wow/jpnn)