KGB dan Gatot Nurmantyo
Oleh: Dhimam Abror DjuraidIdeologi tidak bisa mati, tetapi hanya berubah bentuk. Daniel Bell mengumumkan ‘’The End of Ideology’’ pada 1960-an, bukan karena ideologi sudah mati, tetapi sudah beralih rupa dan tidak ketahuan lagi aslinya.
Di Indonesia, perdebatan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) bangkit lagi, selalu panas setiap akhir September seperti sekarang ini. Dalam berbagai debat di media, terlihat jelas sikap pro dan kontra yang sangat tajam. Perbedaan tajam antara kalangan konservatif dan kalangan liberal seolah tidak pernah habis.
Peristiwa penculikan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada 1965, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI, membawa trauma politik berkepanjangan. Sampai sekarang terus terjadi saling tuding dan saling serang.
Kalangan konservatif menunjukkan bukti-bukti bahwa KGB telah bangkit di Indonesia. Kelompok liberal kukuh engatakan tidak ada KGB, karena komunisme telah mati.
Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi ujung tombak serangan terhadap KGB. Gatot menunjukkan banyak indikator kemunculan KGB. Penghilangan patung diorama di Markas Kostrad, dianggap sebagai indikator upaya pengaburan sejarah untuk menghilangkan kejahatan PKI.
Upaya mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rayat Sementara (MPRS) 1966, yang melarang komunisme, dianggap indikator bangkitnya KGB.
Pengaburan dan penghilangan sejarah PKI dalam mata pelajaran sekolah adalah indikator munculnya KGB. Mereka yang menentang pemutaran film ‘’Pemberontakan PKI’’ dianggap para pendukung KGB.
Munculnya para politisi yang dengan terbuka menyatakan ‘’Saya Bangga Menjadi Anak PKI’’ dianggap menjadi indikator kebangkitan KGB. Munculnya gerakan de-Soeharto-isasi yang mendegradasikan peran Soeharto dalam menumpas PKI, juga dianggap indikator semakin kuatnya kehadiran KGB.